Wednesday 1 October 2014

Field Research (Penelitian Lapangan)

 Pengertian Field Research
Menurut Kanneth D. Bailey istilah studi lapangan merupakan istilah yang sering digunakan bersamaan dengan istilah studi etnografi (ethnographic study atau ethnography).[1] Lawrence Neuman juga menjelasakan bahwa penelitian lapangan juga sering disebut etnografi atau panelitian participant observation.[2] Akan tetapi, menurut Neuman etnografi hanyalah merupakan perluasan dari penelitian lapangan. Etnografi mendefinisikan kembali bagaimana penelitian lapangan harus dilakukan.[3] Menurut Roice Singleton, penelitian lapangan berasal dari dua tradisi yang terkait yakni antropologi dan sosiologi, dimana etnografi merupakan studi antropologi dan etnomethodologi merupakan studi sosiologi.[4] Etnografi memberikan jawaban atas pertanyaan apakah budaya suatu kelompok individu, sedangkan etnomethodologi memberikan jawaban atas bagaimanakah orang memahami kegiatan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat berprilaku dengan cara yang diterima secara sosial.
          Penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif di mana peneliti mengamati dan berpartisipasi secara langsung dalam penelitian skala sosial kecil dan mengamati budaya setempat. Banyak mahasiswa senang dengan penelitian lapangan karena terlibat langsung dalam pergaulan beberapa kelompok orang yang memiliki daya tarik khas. Tidak ada matematika yang menakutkan atau statistik yang rumit, tidak ada hipotesis deduktif yang abstrak. Sebaliknya, adanya interaksi sosial atau tatap muka langsung dengan “orang-orang yang nyata” dalam suatu lingkungan tertentu.
      Dalam penelitian lapangan, peneliti secara individu berbicara dan mengamati secara langsung orang-orang yang sedang ditelitinya. Melalui interaksi selama beberapa bulan atau tahun mempelajari tetang mereka, sejarah hidup mereka, kebiasaan mereka, harapan, ketakutan, dan mimpi mereka. Peneliti bertemu dengan orang atau komunitas baru, mengembangkan persahabatan, dan menemukan dunia sosial baru, hal ini sering dianggap menyenangkan. Akan tetapi, penelitian lapangan juga memakan waktu, menguras emosional, dan kadang-kadang secara fisik berbahaya.
      Kapan sebaiknya kita menggunakan penelitian lapangan? Penelitian lapangan dilakukan ketika pertanyaan penelitian mencakup belajar tentang, memahami, atau menggambarkan interaksi sekelompok orang. Hal ini biasanya dilakukan jika pertanyaannya adalah: Bagaimana orang Y di dunia sosial? atau Seperti apakah dunia sosial dari X? Hal ini dapat digunakan ketika metode lain (misalnya, survei, eksperimen) dianggap tidak praktis. Douglas menyatakan bahwa sebagian dari apa yang peneliti sosial benar-benar ingin belajar, dapat dipelajari hanya melalui keterlibatan langsung seorang peneliti di lapangan.
Secara sederhana Metode pengamatan  penelitian lapangan (Field Research) dapat didefinisikan yaitu secara langsung mengadakan pengamatan untuk memperoleh informasi yang diperlukan dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.
       Misalnya ketika peneliti ingin meneliti bagaimana peran opini leader dalam suku kajang hal ini menggunakan metode field research guna mendapatkan hasil yang akurat dan pasti, dimana peneliti ikut tinggal, bergaul dan melakukan kegiatan sosial lainnya demi mendapatkan kesimpulan yang sesuai dari apa yang ada dilapangan.

Studi Kasus
Dapat dikatakan bahwa studi kasus bukan merupakan metode ilmiah yang spesifik melainkan lebih merupakan suatu metode yang lazim diterapkan untuk memberikan penekanan pada spesifikasi dari unit – unit atau kasus – kasus yang diteliti. Dengan kata lain, metode ini berorientasi pada sifat – sifat unik (casual) dari unit – unit yang sedang diteliti berkenaan dengan permasalahan – permasalahan yang menjadi fokus penelitian. Patton (2004: 447) meihat bahwa studi kasus merupakan upaya mengumpulkan dan kemudian mengorganisasikan serta menganalisis data tentang kasus – kasus tertentu berkenaan dengan permasalahan – permasalahan yang menjadi perhatian peneliti untuk kemudian data tersebut dibandingkan atau dihubung – hubungka satu dengan yang lainnya (dalam hal lebih dari satu kasus) dengan tetap berpegang dalam perinsip holistik dan kontekstual. Disini yang dapat diangkat menjadi kasus mungkin adalah individu, keluarga, kelompok organisasi, institusi nilai atau corak budaya ataubahkan wilayah. Penerapan studi kasus sebagaimana yang lazim adalah menggunakan metode standart seperti observasi, interview, FGD atau penggabungan dari metode – metode itu.
Dalam konteks penelitian komunikasi, studikasus memiliki karakter dinamis di dalam penggunaannya untuk memperoleh gambaran mengenai berbagai persoalan menarik dalam kehidupan sosial. Dalam kaitan ini, studi kasus memiliki semacam keistimewaan yakni bukan hanya studi kasus dalam penelitian komunikasi dikembangkan sesuai dengan yang sudah sejak lama digunakan dalam studi sosiologis dan antropologis melainkan studi kasus dalam penelitian komunikasi juga digunakan untuk meneliti gejala – gejala humaniora. Dalam hubungan ini studi kasus misalnya digunakan untuk melacak nilai – nilai yang terkandung dalam berbagai bentuk naskah cerita seperti novel dan darama. Lacakan terhadap teknik – teknik retorika yang dikembangkan oleh para elit kekuasaan dan tokoh – tokoh masyarakat juga dapat dilakukan denga meggunakan studi kasus ini misalnya mencermati penggunaan bahasa seperti metafor, ironi, parado, anekdot, dan eufeminisme.
Contoh penelitian menggunakan metode studi kasus ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Jankowsiki di Amsterdam pertengahan dekade 1970-an yaitu analisis kontekstual mengenai perkembangan stasiun televisi lokal adapun topik lain yang dapat menggunakan metode ini yaitu prilaku memilih dikalangan perempuan perkotaan dalam hal ini kita dapat mengerucutkan dan memfokuskan pada satu kota tertentu, dalam hal ini peneliti bisa mengedintifikasikan berbagai kasus yang telah ada.
Creswell memulai pemaparan studi kasus dengan gambar tentang kedudukan studi kasus dalam lima tradisi penelitian kualitatif yang dikemukakan Foci berikut ini bahwa diungkapkan bahwa fokus sebuah biografi adalah kehidupan seorang individu, fokus fenomenologi adalah memahami sebuah konsep atau fenomena, fokus suatu teori dasar adalah seseorang yang mengembangkan sebuah teori, fokus etnografi adalah sebuah potret budaya dari suatu kelompok budaya atau suatu individu, dan fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. [5] Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : [6]
(1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi;
(2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh waktu dan tempat;
(3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan
(4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus.
            Berdasarkan paparan di atas, dapat diungkapkan bahwa studi kasus adalah sebuah eksplorasi dari “suatu sistem yang terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang “kaya” dalam suatu konteks. Sistem terikat ini diikat oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program, peristiwa, aktivitas atau suatu individu. Dengan perkataan lain, studi kasus merupakan penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu.
            Pengumpulan data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi, karena studi kasus melibatkan pengumpulan data yang “kaya” untuk membangun gambaran yang mendalam dari suatu kasus. Yin mengungkapkan bahwa terdapat enam bentuk pengumpulan data dalam studi kasus yaitu:
(1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum, agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil evaluasi, kliping, artikel;
(2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman layanan, peta, data survei, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti buku harian, kalender dsb;
(3) wawancara biasanya bertipe open-ended;
(4) observasi langsung;
(5) observasi partisipan dan
(6) perangkat fisik atau kultural yaitu peralatan teknologi, alat atau instrumen, pekerjaan seni dll.[7]
            Sedangkan Creswell menampilkan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi untuk pembacanya. Matriks ini mengandung empat tipe data yaitu: wawancara, observasi, dokumen dan materi audio-visual
            Jadi, Studi kasus menjadi berguna apabila seseorang/peneliti ingin memahami suatu permasalahan atau situasi tertentu dengan amat mendalam dan dimana orang dapat mengidentifikasi kasus yang kaya dengan informasi , kaya dalam pengertian bahwa suatu persoalan besar dapat dipelajari dari beberapa contoh fenomena dan biasanya dalam bentuk pertanyaan. Studi kasus pada umumnya berupaya untuk menggambarkan perbedaan individual atau variasi “unik” dari suatu permasalahan. Suatu kasus dapat berupa orang, peristiwa, program, insiden kritis/unik atau suatu komunitas dengan berupaya menggambarkan unit dengan mendalam, detail, dalam konteks dan secara holistik. Untuk itu dapat dikatakan bahwa secara umum, studi kasus lebih tepat digunakan untuk penelitian yang berkenaan dengan how atau why.

Fenomenologi
            Fenomenologi beranjak dari filsafat sebagaimana dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859 – 1938). Walaupun acap kali tampak ada kesimpangsiuran dalam definisinya (sebagian paradigma, aliran filsafat, bahkan sebagai metode atau penelitian kualitatif itu sendiri), pada hakikatnya fenomenologi adalah upaya memnjawab pertanyaan bagaimanakah struktur dan hakikat pengalaman terhadap suatu gejala bagi sekelompok manusia ? . [8]Husserl, misalnya memandang fenomenologi sebagai pengkajian terhadap cara manusia memberukan benda – benda dan hal – hal disekitar dan mengalami melalu indara – indranya.
Fenomenologi pada dasarnya adalah sebuah tradisi yaitu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Menurut Little John (2006:37) bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi   untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.[9] Dalam konteks ini diasumsikan bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalamannya tersebut yang dapat disederhanakan bahwa fenomenologi berasumsi bahwa setiap manusia secara aktif menginterpretasikan pengalaman dengan memberikan makna atas suatu yang dialaminya, dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreaif dan bersifat subjektif. 
Satu hal lagi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah baha objek dan peritiwa tersebut dilihat dalam perspektif manusia itu sendiri.Dan analisis atas kehidupan sehari – hari dilakukan dari sudut pandang orang yang hidup dalam kehidupannya sendiri. Setiap makhluk hidup pasti punya interpretasi berbeda atas kehidupannya masing – masing meski sekalipun merka hidup dalam satu keluarga akan tetapi cara mereka menginterpretasikan dunia disekeliling mereka berbeda. Misalnya dua orang saudara kandung menyaksikan acara televisi yang membahas mengenai berita tentang kenaikan harga bahan bakar minyak maka mereka menginterpretasikan berbeda misalnya sang kaka menginterpretasikan bahwa pemberitaan itu hanya pengalihan issue dari kekalahan Prabowo dan kegagalan Prabowo karena pada masa sebelumnya sang kaka memiliki beberapa pengalaman dari berita kekalahan prabowo. Sedangkan sang adik menginterpretasikan berita itu dengan kegagalan pihak Jokowi yang tidak membela rakyat padahal sebelumnya kubu dari pemenang pemilihan presiden ini terus menggembar – gembor kan kalau mereka adalah pemerhati rakyat, lain dengan sang kaka bahwa pengalaman sang adik bahwa sebelumnya ia sudah dikecewakan dengan kasus Jokowi yang lebih memilih untuk maju sebagai calon Presiden ketimbang mempertahankan janjinya untuk mengawal Jakarta selama limatahun hingga akhir periodenya. Kedua kaka beradik ini memiliki pengalaman yang berbeda dan pastinya memberikan interpretasi yang berbeda pula terhadap dunia sekelilingnya.
Metode fenomenologi ini terrmasuk kedalam metode penelitian kualitatif yang cenderung bersifat deskriptif diaman fenomenologi dapat memberikan peluang bagi peneliti untuk menggali informas pengalaman manusia. Dibanding metode lain, salah satu metode yang menggunakan paradigma konstruktifistik ini lebih memberikan fleksebilitas dan kemudakan membangun konstruksi sosial realitas. Metode ini dapat memberikan informasi yang kaya atas realitas yang diteliti, mungkin secara teoritik sulit dipahami akan tetapi sebenarnya lebih mudah untuk dilakukan. Untuk cara pengumpulan data nya dalam metode fenomenologi dapat dengan melakukan wawancara selain itu diikuti dengan data sekunder yakni observasi.

Etnografi
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok.
Metode ini cenderung meneliti suatu kebudaayan di sebua wilayah tertentu, apa yang dilakukan masyarakat dan apa tujuannya mereka melakukan hal tersebut. hal ini ditegaskan dalam pernyataan bahwa secara historis, penelitian etnografi telah mengembangkan suatu perhatian untuk memahami pandangan dunia dan cara hidup manusia dalam konteks pengalaman hidup sehari – hari merka (Crang dan Cook, 2007:37).[10] Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan penelitian maupun sebagai metode penelitian dianggap sebagai asal-usul ilmu antropologi. Margareth Mead (1999) menegaskan, “Anthropology as a science is entirely dependent upon field work records made by individuals within living societies. Dalam buku “Metode Etnografi” ini, James Spardley mengungkap perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru. Kemudian dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi lekat dengan kebudayaan, bahkan merupakan hal yang pokok dalam studi etnografis. Karena hal ini maka kalangan antropolog yang telah merintis kemudian menggunakan istilah ini. hal demikian didasarkan pada keyakinan bahwa manusia hidup berjelompok dan saling berinteraksi anatara satu indivisu dan individu lainnya, dan melalui ini kemudian terbentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kumpulan dari pola – pola perilaku dan keyakinan – keyakinan yang kemudian menentukan patokan (standart) mengenai sesuatu itu apa (what is), kemungkinannya apa (what can be), memutuskan bagaimana menaruh perasaan terhadapnya, keputususan bagaimana untuk merspons dan bagaimana cara yang diambil atau dipilih,
Istilah etnografi kerapkali di gunakan untuk menunjukkan dua hal yang sebenarnya berbeda yakni (a) Metode Penelitian dan (b) hasil laporan penelitian atau kajian. Dalam arti metode istilah etnograf biasanya diartikan sebagai fildwork conducted by a single investigator who lives with and lives like whose who are studies, usually for a  year or more. Penelitian lapangan, kata lain dari metode observasi – terlibat, yang dilakukan oleh seorang peneliti yang untuk itu ia tinggal bersama dan hidup sebagaimana layaknya orang – orang yang diteliti, untuk waktu satu tahun atau lebih). (Maanen, 1996:263 -265).[11]
Dalam arti hasl penelitian, etnografi berarti the written respresention of a culture (suatu bentuk laporan tertulis mengenai suatu kebudayaan). Kendati demikian, secara umum istilah etnografi biasa diapakai untuk menunjuk a study of the culture that a given group of people more or less share (studi tentang kebudayaan yang ada pada kelompok masyarakat tertentu). (Maenen, 1996 : 263 -265).Menurut Maanen , terdapat tiga moment (tahap kegiatan yang berbeda) pada etnografi: (a)Kegiatan Pengumpulan Informasi atau data mengenai suatu kebudayaan yang diteliti, (b) penyusunan laporan etnogarfi dan (c) bacaan dan penerimaan (reading and reception) karya etnografi oleh khalayak yang relevan dan beraneka ragam. Para ilmuan sosial biasanya lebih tertarik pada yang pertama
Contoh menggunakan metode etnografi adalah berkenaan dengan dampak televisi terhadap nilai – nilai kehidupan orang lokal didaerah Nagro Aceh Darussalam. Dalam hal ini lebih mengkaji dengan sisi bagaimana kebudayaan mereka menerima dan menginterpretasikannya kedalam kebudayaan mereka.
Entografi pada dasarnya ancangan yang berawal dari disiplin antropologi budaya dan pada pokknya bertujuan mengkaji bagaimanakah budaya sekelompok manusia. Metode pengumpulan premier yang digunakan ialah observasi partisipatif, yang menuntut kerja lapangan yang intensif dengan peneliti terlibat penuh di dalam budaya yang dikajinya.[12] Etnografi mementingkan asas relativisme (kenisbian) budaya : setiap kelompok manusia akan mengembangkan budayanya dan budaya itu di hargai sebagaimana adanyya tanpa membawa nilai – nilai dari budaya si peneliti. Ini juga berarti penghargaan penuh (termasuk upaya empati) terhadap kelompok manusia yang hendak di teliti.

Etnometodelogi
Etnometodelogi yang bersumber dalam disiplin sosiologi mokro dan dipelopori oleh Harold Garfinkel (1967).[13] Mengajukan pertananyaan: bagaimanakah prang memahami kegiatan sehari – hari sehingga perilakukunya dapat diterima oleh masyarakat nya? Berbeda dengan penyelidikan hueristis yang memerhatikan pengalaman intens, entnometodelogi lebih memerhatikan hal yang begitu lumrahnya dalam kehidupan sehari – hari sehingga tidak pernah terpikirkan secara mendalam oleh para pelakunya. Berakar dalam fenomenologi, etnometodelogi berusaha memahami akal sehat yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk dapat berfungsi dalam suatu lkelompok yang hendak mencapai suatu tujuan tertentu.
            Untuk membuktikan kompleks dan “tidak lumrah”nya suatu gejala, etnometodologi menggunakan tenknik sengaja melanggar pola keseharian yang berlaku dan dari reaksi terhadap pelanggaran itu mencoba memahami kompleksitasnya. Dengan begitu metode pengumpulan datanya dapat dengan Studi kasus setelah itu dibantu dengan data sekunder wawancara dan observasi.
            Adat Larung Sesaji. Sebenarnya tidak ada hubungan yang erat antara upacara atau sesaji dengan berhentinya bencana. Hal ini terlihat dari meski adanya rutinitas “nglarung” tetapi bencana alam maupun sosial masih terjadi di mana-mana. Namun karena manusia memiliki refleksi, masih adanya bencana-bencana tersebut direfleksikan berbeda, seperti, mereka mengatakan pada dirinya sendiri bahwa, “Mungkin persembahan yang diberikan kurang banyak dan tak tepat waktu, sehingga ritual tersebut tidak diterima dengan baik oleh Yang Maha Kuasa”. Dari sini terlihat adanya proses berpikir dan evaluasi diri dari sang Peritual tersebut. contoh lainnya, Gail Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu ucapan dimaksudkan untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan, misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi atas dasar suka rela atau oleh ajakan.

Interaksionisme Simbolis
Interaksionisme simbolis bermula dari psikologi sosial yang dikaitkan dengan Gorge Herbert Mead (1943) dan Herbert Blumer (1969) serta per definisi bertautan erat dengan penyelidikan kualitatif dan orientasi verstehen yang mendasarinya. Sang interaksionis simbolis mengajukan pertanyaan kumpulan simbol dan pemehaman umum apa yang muncul dan memberikan makna pada interaksi antarmanusia?.[14]
            Perspektif ini amat menekankan pentingnya makna dan penafsiran sebagai proses yang hakiki manusiawi sebagai reaksi terhadap behavioralisme dan psikologi stimulus – respon yang mekanistis. Orang menciptakan makna bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna itulah yang menjadi realitasnya
            Pentingnya interaksionisme simbolis dalam penyelidikan kualitatif adalah tekanan jelas pada pentingnya simbol dan proses yang terjadi dalam interaksi sebagai sesuatu yang mendasar untuk memahami perilaku manusia.
            Interaksionisme simbolik merupakan salah satu model metodologi penelitian kualitatif berdasarkan pendekatan fenomenologis atau persepektif interpretif. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi.[15]
            Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.[16]
            Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan bukan lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik, yaitu.[17]
1.      Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
2.      Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yng bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
3.      Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
4.      Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
5.      Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubaha, juga bentuk perilaku yang yang statis.
6.      Pelaksanan penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
7.      Penggunaaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang layakmenjadi teori formal, bukan teori agung (grand theory) atau teori menegah (middle-range theory), dan proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.

Dari penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan interaksionisme simbolis dapat menggunakan observasi sebagai data premiernya dan wawancara dapat ditambahkan sebagai data sekundernya.

Hermeneutis
Heurists adalah suatu penyelidikan fenomenologis yang mengedepankan pengalaman pribadi dan penghayatan peneliti. Pendekatan ini berasal dari dan dipengaruhi oleh disiplin psikologi humanistis. Penyelidikan heuristis mengajukan pertanyaan : bagaimanakan pengalaman saya terhadap hejala ini dan pengalaman hakiki orang lain yang juga secara intens?
            Dibandingkan dengan kereangka fenomenologi yang lebih luas, unsur – unsur penyelidikan heuristis lebih sempit atai terfokus, yakni:[18]
a.       Peneliti harus mempunyai pengalaman pribadi atau langsung dan perhatian yang intens terhadap gejala yang dikaji
b.      Para peneliti pendamping harus ikut merasakan intensitas yang sama terhadap gejala tersebut
Heuristis berhubungan dengan makna, bukan dengan ukuran ; dengan hakikat, bukan penampilan ; dengan kualitas, bukan kuantitas ; dengan pengalaman bahkan prilaku.

Ground Theory
Para ahli ilmu sosial, khususnya sosiolog, berupaya menemukan teori berdasar data empiris, bukan membangun teori secara deduktif logis. Itulah yang disebut grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan teori dari data empirik yang diperoleh secara sistematis dalam penelitian sosial, merupakan tema utama dari metodologi penelitian kualitatif model grounded research. Grounded theory ditemukan pada tahun 1967 oleh Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss dengan diterbitkannya buku berjudul The Discovery of Grounded Theory.[19] Pelaksanaan dalam grounded research bertolak belakang dengan penelitian kuantitatif pada umumnya, yang bergerak dari level konseptual teoritik ke level empirikal. Grounded research bergerak dari level empirikal menuju level konseptual teoritikal. Dalam penelitian ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan konseptual, proposisi dan teori tertentu. Secara provokatif, sering dikatakan agar peneliti masuk ke lapangan dengan “kepala kosong”, tanpa membawa apapun yang sifatnya apriori, apakah itu konsep, proposisi, ataupun teori. Hal ini disebabkan, dengan membawa konsep, proposisi, teori yang bersifat apriori, dikhawatirkan terjebak pada kecenderungan studi verifikatif yang memaksakan level empirikal menyesuaikan diri dengan level konseptual teoritikal.
Berdasarkan keadaan “kepala kosong” inilah, diharapkan peneliti dapat sepenuhnya terpancing kepada kenyataan berdasarkan data lapangan itu sendiri, baik dalam mendeskripsikan apa yang terjadi, maupun menjelaskan kemengapaannya. Dengan demikian, apa yang ditemukan berupa konsep, proposisi, dan teori, benar-benar berdasarkan data yang dikembangkan secara induktif. Tekait proses tersebut, terdapat tiga unsur dasar yang perlu dipahami dan tidak bisa saling dipisahkan, yaitu konsep, kategori, dan proposisi.[20] Kualitas grounded theory sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang dilakukan secara baik, benar, dan disiplin. Proses yang benar akan menjamin ditemukannya teori yang benar pula. Dengan demikian, ada semacam koherensi antara input, proses, dan output. Disamping itu, seperti pada penelitian lainnya, pengujianditentukan oleh validitas, reliabilitas, dan kredibilitas dari data, juga ditentukan oleh proses penelitian dimana teori dihasilkan, serta data empirisnya sebagai bagian integral dari penemuan atau teori yang dihasilkan.
Jadi data dari grounded research dapat di kumpulkan melalui observasi serta wawancara bersamaan dengan itu analisis dan interpretasi menurut prosedur tertentu mestilah telah diupayakan, tak ayal lagi data yang diperoleh alah data atau informasi hasil analisis (lewat berbagai proses encoding dan penulisan dalam wujud memos). Pada tahap berikutnya masih dianalisis lagi (lewat proses coding) untuk tersusun menjadi suatu deskripsi yang dapat di sajikan sebagai suatu laporan penelitian.

Dramaturgi
Manusia mampu menjalankan berbagai peran sesuai dengan situasi dan kondisi yang berbeda. Menurut George Ritzer, manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya .[21]
            Erving Goffman memperkenalkan teori dramaturgi yang melihat kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang serupa dengan apa yang ditampilkan diatas panggung. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia tidaklah stabil, berubah-ubah tergantung dengan siapa individu berinteraksi. Goffman berasumsi bahwa ketika individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan pemahaman tertentu tentang diri yang akan diterima oleh orang lain.[22] Setiap individu sebagai aktor berusaha melakukan peran dalam “pertunjukkan dramanya” sebaik mngkin dengan tujuan orang lain melihat karakteristik personalnya sesuai dengan apa yang diperankan. Untuk mencapai tujuannya ini, actor perlu menggunakan teknik “manajemen kesan” atau impression management agar penonton yakin dengan apa yang diperankan dan tidak mengetahui karakter asli dari aktor.  Dengan impression management, aktor mampu mengendalikan ekspresi muka dan suara serta skenario yang perankan.
Dalam konsep dramaturgi terdapat dua jenis panggung yaitu, panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan (front stage) adalah bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi dua, setting pemandangan fisik yang harus ada jika aktor ingin memainkannya dan front personal berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari aktor. Front personal terbagi dua, yaitu penampilan berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor (appereance), dan gaya mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu (manner)atau dalam bahasa lain di front stage inilah aktor melakukan pencitraan dirinya sebaik mungkin. Panggung belakang (Back stage) merupakan ruang dimana berjalan skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing aktor) atau dalam bahasa lain di back stage inilah karakter aktor yang asli ditunjukan.[23] Individu bebas berperilaku sesuai dengan karakter asli tanpa harus mengkhawatirkan ada yang memperhatikannya.
          Tujuan dari orang melakukan dramaturgi menurut Goffman adalah penerimaan penonton akan manipulasi. Ketika aktor berhasil menjalankan perannya maka penonton akan melihat aktor sesuai dengan apa yang memamg diperrtunjukkan oleh aktor tersebut. Aktor akan semakin mudah membawa penonton untuk mencapai tujuan dari pertunjukkan yang dilakukan.



[1] Kanneth D. Bailey, Methods of Social Research, (New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc, 1982), hlm. 254
[2] W. Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches), Ed. 5th.,  (Boston: Allyn and Bacon, 2003), hlm. 363.
[3] Ibid., hlm. 366, Neuman menjelaskan terdapat dua extensions dari penelitian lapangan yakni ethnography dan etnomethodologi.
[4] Roice Singleton ed.all, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 308,
[5] John W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition. (London: SAGE Publications, 1998), hlm. 37-38
[6] Ibid, hlm. 36-37
[7] Robert K. Yin, Case Study Research Design and Methods.(Washington : COSMOS Corporation, 1989).hlm103
[8] Tim Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta: Prenada Media Group,2007).hlm 178
[9] Adnan.Hussein.Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi.(Yogyakarta;ASPIKOM).hlm135
[10] Adnan.Hussein.Mix Methodology Dalam Penelitian Komunikasi.(Yogyakarta;ASPIKOM).hlm161
[11] Parwito.Penelitian Komunikasi Kualitatif.(Yogyakarta: LkiS.2008).hlm150
[12] Tim Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta: Prenada Media Group,2007).hlm 178
[13] Ibid. Hlm178
[14] Ibid.hlm180
[15] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarrta : Rake Sarasin,1996),136
[16] Noeng Muhadjir, Metodologi penelitiankualitatif pendekatan positivistic, rasionalistic, phenomenologic,dan metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama, (Bandung : PT . Bayu Indra Grafindo,1996)hal 135.
[17] Mulyana.  Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: Remaja Rosdakarya.2002)hlm 149.
[18] Tim Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta: Prenada Media Group,2007).hlm 178
[19] Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV, Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 120
[20] Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.72.
[21] Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal: 187 
[22] George Ritzer dan Douglas J.Goodman. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah Nurhadi (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008) hlm. 617.
[23] Slide PowerPoint Teori Sosiologi Modern Jurusan Sosiologi FIS UNJ: Interaksionisme Simbolik
[24] Parwito.Penelitian Komunikasi Kualitatif.(Yogyakarta: LkiS.2008).hlm111
[25] Parwito.Penelitian Komunikasi Kualitatif.(Yogyakarta: LkiS.2008).hlm132
Share: