Wednesday, 30 September 2015

Komunikasi LINTAS Budaya dan Komunikasi ANTAR Budaya


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan komunikasi yang baik.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia hingga Indonesia disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi pada Kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang berlaku dari suatu daerah.
Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai bagaimana cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara indonesia misalnya (Cina, Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini akan dibahasnya mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar Budaya, Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan Non Verbal.

Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (E. B Taylor). Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang tersebut menyandi pessan, makna yang ia miliki untuk pesan, serta kondisi – kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.[1]
Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.  Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya (selanjutnya disingkat KAB). Jadi pada dasarnya komunikasi antar budaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya melalu verbal ataupun nonverbal.[2]
Sementara itu Komunikasi lintas budaya / KLB (cross-cultural communication) secara tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB.[3]
Berikut perbedaan – perbedaan Komunikasi Antar Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya.
No.
Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi Antar Budaya
1
Awalnya diartikan sebagai proses mempelajari komunikasi di antara individu maupun kelompok suku bangsa dan ras yang berbeda negara. Karena pasti beda negara pasti beda kebudayaan.
Komunikiasi antarpribadi yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suku bangsa yang sama.
2
Menekankan perbandingan kebudayaan
Menekankan interaksi yang terjadi antar pribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan

Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya
            Pada dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili sebuah realitas.  Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan memberikan informasi kepada anda dan setelah melihat tanda itu anda langsung mengetahui apa yang harus dilakukan.
            Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita muslim dan sebagainya.[4]
Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan cara manusia hidup, berfikir, bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya dengan menungkapkannya secara lisan maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]
            Simbol dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya yakni sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai karakterisktik budaya tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat memahami budaya tersebut dan kita dapat berkomunikasi antar budaya dengan tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol dan bahasa yang berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah mengenal bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya sebelum kita memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, lakukan lah riset pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat menyimbolkan sesuatu hal, dan bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan memudahkan kita untuk dapat berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.

Komunikasi Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya yakni, bahasa verbal dan non verbal memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal atau dengan kata lain bahsa non verbal sebagai penjelas dari bahasa verbal.

Komunikasi Verbal
Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspek-aspek tertentu realitas.
Dalam hipotesis tersebut, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, dan memperlembut.
Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan - hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :
a.    Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.

b.    Orientasi Intensional
Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya.

c.    Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta
Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.

d.    Potong kompas
Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.

e.    Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.

f.      Evaluasi Statis
Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.

g.    Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.[6]

Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut:
a.    Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem”  yang diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.

b.    Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.

c.    Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.

d.    Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku seseorang  yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]

Komunikasi Non Verbal
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.    
Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya.
Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.
Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:
a.    Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

b.    Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.

c.    Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya. Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan diartikan seperti ia sedang bingung.

d.    Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain – lainya.

e.    Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh lawan bicara kita.

f.     Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.

g.    Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai pelanggaran sosial.[8]

Dalam proses komunikasinya, Komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting, yakni :
a.    Repetisi atau mengulangi prilaku verbal
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan “iya”.

b.    Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal
Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.

c.    Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.
Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata “tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan  dari seorang yang bertanya “dimana si Ali?”.

d.    Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku, dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen segera menutup kuliahnya.

e.    Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.
Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.[9]





[1] Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat.Komunikasi Antar Budaya.(Bandung:Rosdakarya.2006).19
[2] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3
[3] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
[4] Ira Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
[5] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.20
[6] Ita Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).9
[7] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.21
[8] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).6.8
[9] Riswandi.Ilmu Komunikasi.(Yogyakarta:Graha Ilmu.2009).70
Share:

5 comments:

  1. Terimakasih atas informasi yg telah diinfokan.
    Sangat membantu dalam penyelesaian tugas mata kuliah saya.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  3. Boleh tanya sumber dimana dapat ditemukan konsepsi ttg hambatan - hambatan interaksi bahasa verbal, dalam komunikasi antar budaya yg 7 aspek itu?
    1. judul bukunya apa?
    2. Pengarangnya siapa?
    Butuh banget mbak, untuk rancangan proposalku.
    trimakasih sebelumnya.
    Ilham RH (ilham_rh1971@yahoo.com)

    ReplyDelete