Manusia adalah makhluk sosial yang selalu
berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma,
pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan
itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya
pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua
diperlukan komunikasi yang baik.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara
Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena
mengingat begitu luasnya wilayah indonesia hingga Indonesia disebut – sebut
sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara
Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi pada Kenyataanya
seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri
dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti
masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang
berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau
norma-norma) yang berlaku dari suatu daerah.
Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu
belajar mengenai bagaimana cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak
hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang
dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara indonesia misalnya (Cina,
Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini akan dibahasnya
mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar Budaya,
Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan
Non Verbal.
Perbedaan Komunikasi
Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (E. B Taylor). Budaya dan komunikasi tidak
dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan
siapa, tentang apa, dan bagaimana orang tersebut menyandi pessan, makna yang ia
miliki untuk pesan, serta kondisi – kondisinya untuk mengirim, memperhatikan
dan menafsirkan pesan.[1]
Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan
makna antara orang-orang yang berbeda budaya.
Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok
ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya
(selanjutnya disingkat KAB). Jadi pada dasarnya komunikasi antar budaya
mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna
pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak
dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya
melalu verbal ataupun nonverbal.[2]
Sementara itu Komunikasi lintas budaya / KLB
(cross-cultural communication) secara
tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda.
Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya
Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara
konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB.[3]
Berikut perbedaan – perbedaan Komunikasi
Antar Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya.
No.
|
Komunikasi Lintas
Budaya
|
Komunikasi Antar
Budaya
|
1
|
Awalnya diartikan
sebagai proses mempelajari komunikasi di antara individu maupun kelompok suku
bangsa dan ras yang berbeda negara. Karena pasti beda negara pasti beda
kebudayaan.
|
Komunikiasi
antarpribadi yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suku bangsa yang sama.
|
2
|
Menekankan
perbandingan kebudayaan
|
Menekankan
interaksi yang terjadi antar pribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan
|
Simbol dan Bahasa
Dalam Komunikasi Antar Budaya
Pada
dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol
dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang
cara memberi makna terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada
hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberikan
makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Jadi, setiap tanda
berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua orang memberikan makna yang
sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili
sebuah realitas. Kalau Anda mengendarai
mobil dan berhadapan dengan tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah
atau mewajibkan, melarang, dan memberikan informasi kepada anda dan setelah
melihat tanda itu anda langsung mengetahui apa yang harus dilakukan.
Simbol
berasal dari bahasa Latin symbolycum
(semula dari bahasa Yunani sumbolon,
yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’
yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh
symbol. Cincin merupakan symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu
Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita muslim dan sebagainya.[4]
Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan
cara manusia hidup, berfikir, bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya
dengan menungkapkannya secara lisan maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]
Simbol
dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya yakni
sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai
karakterisktik budaya tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat
memahami budaya tersebut dan kita dapat berkomunikasi antar budaya dengan
tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol dan bahasa yang
berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah mengenal
bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi
hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya
sebelum kita memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang
berbeda, lakukan lah riset pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada
didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat menyimbolkan sesuatu hal, dan
bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan memudahkan kita untuk dapat
berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.
Komunikasi Verbal dan
Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang
berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non
verbal secara bersama-sama. keduanya yakni, bahasa verbal dan non verbal
memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat dipisahkan). Dalam
banyak tindakan komunikasi, bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap
bahasa verbal atau dengan kata lain bahsa non verbal sebagai penjelas dari
bahasa verbal.
Komunikasi Verbal
Secara etimologis, kata verbal berasal dari
verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari
bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan
tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan
sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal
dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan
‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’
yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering
berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan
bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik
secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan
keadaan dunia malalui bahasa.
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai
media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada
para pendukungnya. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah
dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward
Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf
yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di
pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan
oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang
menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya
“sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa
kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia
berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang
berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada
aspek-aspek tertentu realitas.
Dalam hipotesis tersebut, perbedaan-perbedaan
antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk
berkomunikasi. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar
dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka
pahami tentang lingkungan. Bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen
tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan,
mempertajam, dan memperlembut.
Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia
dengan melekatkan label terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan
mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap
tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua
puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian
besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat
membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es
(karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau
negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk
melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa
salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budaya-budaya
lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya,
terdapat hambatan - hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :
a.
Polarisasi
Polarisasi
adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan
menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative,
sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita
mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan
mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga
orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti
itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap
apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan
harus bersikap netral.
b.
Orientasi Intensional
Mengacu
pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai
dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang
berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik,
maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik
sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila
kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya
sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih
dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan
cirinya.
c.
Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta
Kita
dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat
pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau
struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan
mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia
mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan
tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa.
Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda.
Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat
“tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif,
melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang
dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada
apa yang kita simpulkan.
d.
Potong kompas
Potong
kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan
makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola
salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling
menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas
adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap
bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang
sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal
yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna ada dalam diri manusia.
Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang
seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan
eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.
e.
Kesemuan
Karena
dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau
mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara
keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan
atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan.
Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak
memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.
f.
Evaluasi Statis
Bila
kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita
merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan
ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara
berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga
kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita
tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak
berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau
mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses
komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata
lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat irreversible.
Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan
itu dapat sangat berubah.
g.
Indiskriminasi
Indiskriminasi
terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau
kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas
dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari
stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah
yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan
pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum
pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori
tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan
bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain
bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang
berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator
tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin
ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat
detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan,
komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas
komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.[6]
Selain itu bahasa dalam proses komunikasi
antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut:
a. Bahasa digunakan
untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu.
Kata “Dhalem” yang diucapkan oleh
sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya tahu
bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.
b. Bahasa berfungsi
sebagai sarana interaksi sosial.
Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita
(komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih
menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas
memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa
kedokteran. Apa yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan
tersampaikan karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.
c. Bahasa berfungsi
sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi.
Bila kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata –
kata yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore,
dan sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.
d. Bahasa sebagai sarana
manipulatif. Bahasa digunakan untuk
mengubah tingkah laku seseorang yang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]
Komunikasi Non Verbal
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa
verbalnya namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non
verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi
bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat
mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah
semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E.
Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan dalam suatu
setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan
oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima,
jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai
bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan
nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam proses non verbal yang relevan dengan
komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang
berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan
ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal
ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya
adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana
komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita
seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di
Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang
tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan
memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di
Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika
berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa
suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang
yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit
putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira
bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut
tidak pernah melihat kepadanya.
Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non
verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem
penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya.
Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang
tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang diwariskan dari
suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang
mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan
mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga
mempengaruhi dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon
lambang-lambang non verbal tersebut.
Dari penjelasan diatas tentang prilaku
komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting yang menjadi
yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui
dan dipahami terutama dalam kaitanya dengan komunikasi antar budaya. Beberapa
hal tersebut adalah:
a. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna
berbeda diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya
mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai
ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
b. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai
pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat
dari bangsa yang lainnya. Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala
berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala
berarti menandakan setuju “iya”.
c. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada
pesan verbal yang menyertainya. Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan
berbeda artinya jika pesan verbal yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan
seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala
ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya
gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan
diartikan seperti ia sedang bingung.
d. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan
nonverbal harus dilihat sebgai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal
yang disampaikan. Misalnya, jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita
harus melihat apakah prilaku nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan –
pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain –
lainya.
e. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat
bertentangan. Hal ini terjadi dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak
sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan
bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan
prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah
yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi
tersebut dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada
prilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh lawan bicara kita.
f. Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh
seluruh tubuh manusia untuk mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya,
rasa bahagia tidak hanya diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga
dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku
nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.
g. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan
pada nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu.
Misalnya di Indonesia memegang kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya,
sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai pelanggaran sosial.[8]
Dalam proses komunikasinya, Komunikasi non verbal
dapat menjalankan sejumlah fungsi penting, yakni :
a.
Repetisi atau mengulangi prilaku verbal
Perilaku
nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal.
Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan
verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau
menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan “iya”.
b.
Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal
Kita
menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa
bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna
atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita
mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan
kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka –
gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.
c. Nonverbal dapat
menggantikan prilaku verbal.
Menggoyangkan
tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata
“tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab
pertanyaan dari seorang yang bertanya
“dimana si Ali?”.
d.
Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika
kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku,
dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen
segera menutup kuliahnya.
e.
Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.
Saat istri menanyakan
komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si suami
mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang
mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku
nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.[9]
[1] Deddy
Mulyana & Jalaludin Rakhmat.Komunikasi
Antar Budaya.(Bandung:Rosdakarya.2006).19
[2] SM NIKEN
RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi
Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3
[3] SM NIKEN
RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi
Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
[4] Ira
Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas
Mercu Buana).4
[5] Alex H.
Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas
Mercu Buana).5.20
[6] Ita
Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas
Mercu Buana).9
[7] Alex H.
Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas
Mercu Buana).5.21
[8] Alex H.
Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas
Mercu Buana).6.8
[9]
Riswandi.Ilmu Komunikasi.(Yogyakarta:Graha
Ilmu.2009).70
Terimakasih atas informasi yg telah diinfokan.
ReplyDeleteSangat membantu dalam penyelesaian tugas mata kuliah saya.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteterimakasih,,,informasinya sangat berguna..
ReplyDeleteBoleh tanya sumber dimana dapat ditemukan konsepsi ttg hambatan - hambatan interaksi bahasa verbal, dalam komunikasi antar budaya yg 7 aspek itu?
ReplyDelete1. judul bukunya apa?
2. Pengarangnya siapa?
Butuh banget mbak, untuk rancangan proposalku.
trimakasih sebelumnya.
Ilham RH (ilham_rh1971@yahoo.com)
terima kasih
ReplyDelete