Semiologi
atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika,
retorika, dan peotika. Akar namanya sendiri adalah “semeion”,
nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simptomatologio dan diagnostic inferensial (sinha, 1988: 3).
“Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal
lain.
Aristoteles
delam hal ini sangat dekat dengan konsep penanda semacam ini. Penggantinya,
mazhab Stoa, mengelaborasinya kedalam sebuah teori penyimpulan yang ketat (Eco,
1984 : 15), bahwa tanda adalah sebuah proposisi yang dikonstitusi oleh koneksi
yang valid dan menjelaskan kepada konsekuensinya. Jelaslah bahwa pada masa ini
studi tentang tanda lebih mengarah pada operasi penalaran (logika) dan
kemungkinan – kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Ada catatan khusus
terhadap Aristoteles yang mengaggap bahwa “pikiran” dapat di pertimbangkan
sebagai “wakil – wakil dari hal – hal”, dan bahasa dalam hal ini adalah tanda
dari pikiran. Aristoteles mengatakan bahwa kata – kata adalah “tanda – tanda
dari afeksi – afeksi jiwa”. Aristoteles (Ross. 1928: 16a) menyatakan:
“Spoken
words are the signs of affections of the soul, and written words are the signs
of spoken words. Just as all men have not same writing. So all men have not the
same speech sounds, but the affections of the soul wich these signify are the
same for all, as also are those things of which our experiences are images.”
Kata
– kata tuturan adalah tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa, dan kata – kata
tulis adalah tanda – tanda dari kata – kata tuturan. Sebagaimana semua manusia
tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki
suara tuturan yang sama, tetapi afeksi – afeksi jiwa yang ditandai oleh kata –
kata tuturan adalah sama bagi segalanya, sebagaimana juga hal – hal dari
pengalam – pengalam kita adalah imaji - imaji.
Pada
awalnya sejak kemunculan semiotika yang di diperkenalkan oleh Saussure dan
Pierce, maka semiology menitik beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan
segala yang berkaitan dengannya.Meskipun dalam semiotika Peirce masih ada
kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada inferensi
(pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistic, pada kenyatannya
semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system
tanda non linguistik.Sementara itu, bagi Barthes (1988: 179) semiologi hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things).[1]
Terma semiotik bukanlah
istilah baru, istilah ini berasal dari kata Yunani, semion, yang
berarti tanda atau dari kata semeiotikos , yang berarti teori
tanda. Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik dapat pula diambil dari kata seme (Yunani)
yang berati “penafsir tanda”. Akan tetapi, meskipun semiotik sudah dikenal
sejak masa Yunani, sebagai salah satu cabang keilmuan, semiotik baru berkembang
sekitar tahun 1900-an. Istilah keilmuan, semiotik pun digunakan pada abad ke-18
oleh Lembert, seorang filsif jeman. Selain Lembert, menurut R.H. Robin (1995:
258) terdapat beberapa ahli yang mempersoalkan tanda, yaitu Wilhelm von Humbolt
dan Schliercher.
Perbincangan
sistematis semiotik menempati posisi signifikan dalam khaxanah ilmu pada abad
ke-20, yaitu ketika logosentrisme menempati posisi penting dalam filsafat. Arus
wacananya digulirkan dua tokoh founding father semiotik,
yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce melalui karya anumerta.
Meskipun hidup sezaman, kedua orang ini tidak saling mengenal karena tempat
tinggal mereka berjauhan. Saussure berada di daratan Eropa, sedangkan Pierce
berada di daratan amerika. Erus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir
bersamaan, sekalipun menyadarkan perinsip semiotik pada landasan yang berbeda
hingga melahirkan konsep yang berbeda pula. Karena disiplik ilmu yang mereka
tekuni berbeda, Pierce seorang pakar bidang linguistik dan logikam sedangkan
Saussure seorang pakar linguistik modernm ada perbedaan mendasar dalam
penerapan konsep – konsep semiotik sekarang ini.
Berkat
pemenemuannya dalam bidang semiotik, Ferdinand de Saussure (1875 – 1913)
dinobatkan sebagai “Bapak Semiotika Modern” bersama – sama Charles Sanders
Pierce (1839 – 1914). Semiotik pun menjadi yren dalam wacana pemikiran dengan
lahirnya karya yang di beri lebel semiotik “sign” .[1]
Semiotika (juga disebut
studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi
tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses
tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme,
makna, dankomunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang
untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik.
Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda
non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang:
1. Semantik:
hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau
makna
2. Sintaksis:
hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
3. Pragmatik:
hubungan antara tanda dan tanda-menggunakan agen
Semiotika sering
dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco
mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi.[2] Namun,
beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka
juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti bagaimana membuat prediksi
tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat
semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem
tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup
tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik).
Sintaksis adalah cabang
dari semiotika yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan simbol.[3] Lebih
tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan yang mengatur bagaimana
kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat".
Charles Morris
menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk
designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan; dan,
penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua
fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi
tanda-tanda.
Dari
semiotika Ferfinand de Saussere kemudian hingga masuk kepada
semiotika Charles Sanders Pierce, kemudian bermunculan para ahli semiotika yang
menggunakan jenis paradigm yang sama dengan kedua penemu ini yaitu paradigm
konstruktifis, lalu sampai pada era Roland Barthes yang memiliki perbedaan pada
cara pandang memandang kasus semiotika ini, dimana Barthes memandang semiotika
menggunakan paradigm kritis meskipun tak dipungkiri terkadang Barthes bermain
di dua wilayah yakni konstruktifis seperti para pendahulunya dan kritis.
[2]Caesar, Michael. 1999. Umberto Eco: Philosophy,
Semiotics, and the Work of Fiction. Wiley-Blackwell. hlm. 55. ISBN 978-0-7456-0850-1.
Really helpful!
ReplyDelete