Wednesday, 7 October 2015

Semiotika

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan peotika. Akar namanya sendiri adalah “semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologio dan diagnostic inferensial (sinha, 1988: 3). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
Aristoteles delam hal ini sangat dekat dengan konsep penanda semacam ini. Penggantinya, mazhab Stoa, mengelaborasinya kedalam sebuah teori penyimpulan yang ketat (Eco, 1984 : 15), bahwa tanda adalah sebuah proposisi yang dikonstitusi oleh koneksi yang valid dan menjelaskan kepada konsekuensinya. Jelaslah bahwa pada masa ini studi tentang tanda lebih mengarah pada operasi penalaran (logika) dan kemungkinan – kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Ada catatan khusus terhadap Aristoteles yang mengaggap bahwa “pikiran” dapat di pertimbangkan sebagai “wakil – wakil dari hal – hal”, dan bahasa dalam hal ini adalah tanda dari pikiran. Aristoteles mengatakan bahwa kata – kata adalah “tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa”. Aristoteles (Ross. 1928: 16a) menyatakan:
            “Spoken words are the signs of affections of the soul, and written words are the signs of spoken words. Just as all men have not same writing. So all men have not the same speech sounds, but the affections of the soul wich these signify are the same for all, as also are those things of which our experiences are images.”
Kata – kata tuturan adalah tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa, dan kata – kata tulis adalah tanda – tanda dari kata – kata tuturan. Sebagaimana semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki suara tuturan yang sama, tetapi afeksi – afeksi jiwa yang ditandai oleh kata – kata tuturan adalah sama bagi segalanya, sebagaimana juga hal – hal dari pengalam – pengalam kita adalah imaji  - imaji.
Pada awalnya sejak kemunculan semiotika yang di diperkenalkan oleh Saussure dan Pierce, maka semiology menitik beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya.Meskipun dalam semiotika Peirce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistic, pada kenyatannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non linguistik.Sementara itu, bagi Barthes (1988: 179) semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things).[1]

     Terma semiotik bukanlah istilah baru, istilah ini berasal dari kata Yunani, semion, yang berarti tanda atau dari kata semeiotikos , yang berarti teori tanda. Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik dapat pula diambil dari kata seme (Yunani) yang berati “penafsir tanda”. Akan tetapi, meskipun semiotik sudah dikenal sejak masa Yunani, sebagai salah satu cabang keilmuan, semiotik baru berkembang sekitar tahun 1900-an. Istilah keilmuan, semiotik pun digunakan pada abad ke-18 oleh Lembert, seorang filsif jeman. Selain Lembert, menurut R.H. Robin (1995: 258) terdapat beberapa ahli yang mempersoalkan tanda, yaitu Wilhelm von Humbolt dan Schliercher.
            Perbincangan sistematis semiotik menempati posisi signifikan dalam khaxanah ilmu pada abad ke-20, yaitu ketika logosentrisme menempati posisi penting dalam filsafat. Arus wacananya digulirkan dua tokoh founding father  semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce melalui karya anumerta. Meskipun hidup sezaman, kedua orang ini tidak saling mengenal karena tempat tinggal mereka berjauhan. Saussure berada di daratan Eropa, sedangkan Pierce berada di daratan amerika. Erus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir bersamaan, sekalipun menyadarkan perinsip semiotik pada landasan yang berbeda hingga melahirkan konsep yang berbeda pula. Karena disiplik ilmu yang mereka tekuni berbeda, Pierce seorang pakar bidang linguistik dan logikam sedangkan Saussure seorang pakar linguistik modernm ada perbedaan mendasar dalam penerapan konsep – konsep semiotik sekarang ini.
            Berkat pemenemuannya dalam bidang semiotik, Ferdinand de Saussure (1875 – 1913) dinobatkan sebagai “Bapak Semiotika Modern” bersama – sama Charles Sanders Pierce (1839 – 1914). Semiotik pun menjadi yren dalam wacana pemikiran dengan lahirnya karya yang di beri lebel semiotik “sign” .[1]
Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dankomunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang:
1.      Semantik: hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau makna
2.      Sintaksis: hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
3.      Pragmatik: hubungan antara tanda dan tanda-menggunakan agen
Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi.[2] Namun, beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik).
Sintaksis adalah cabang dari semiotika yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan simbol.[3] Lebih tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan yang mengatur bagaimana kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat".
Charles Morris menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan; dan, penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi tanda-tanda.
Dari semiotika Ferfinand de Saussere  kemudian hingga masuk kepada semiotika Charles Sanders Pierce, kemudian bermunculan para ahli semiotika yang menggunakan jenis paradigm yang sama dengan kedua penemu ini yaitu paradigm konstruktifis, lalu sampai pada era Roland Barthes yang memiliki perbedaan pada cara pandang memandang kasus semiotika ini, dimana Barthes memandang semiotika menggunakan paradigm kritis meskipun tak dipungkiri terkadang Barthes bermain di dua wilayah yakni konstruktifis seperti para pendahulunya dan kritis.

[1]Rusmana Dadan. 2014. Filsafat Semiotika. Bandung : Pustaka Setia. Hlm 20
[2]Caesar, Michael. 1999. Umberto Eco: Philosophy, Semiotics, and the Work of Fiction. Wiley-Blackwell. hlm. 55. ISBN 978-0-7456-0850-1.
[3]The American Heritage Dictionary of the English Language: Syntactics



[1]Kurniawan. 2001.Semiologi Roland Barthes. Jakarta : Indonesiatera. Hal 53
Share:

1 comment: