1. Brian Fellows, Persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi.
2. Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodaken, Persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita.
3. Philip Goodacre dan Jennifer Follers, Persepsi adalah proses mental yang di gunakan untuk mengenali rangsangan melalui alat – alat panca indra.
4. Joseph A. Devito, Persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. [9]
Jadi pada dasarnya persepsi atau paradigma adalah cara bagaimana seseorang menginterpretasikan sebuah masalah atau fenomena, dalam hal ini akan dibahasnya menganai paradigma positivistik, konstruktivistik serta kritis. Ketiga paradigma ini dapat dianalogikan sebagai kaca mata, diamana ketiga kaca mata ini memiliki jenis dan lensa yang berbeda dengan begiu ketika kita melihat satu objek yang sama sekalipun dengan menggunakan ketiga jenis kaca mata ini bergantian otomatis objek yang sama tersebut akan terlihat berbeda dengan kaca mata yang berbeda, dengan demikiaan begitu pula dengan cara kita melihat dan menginterpretasikan suatu masalah dengan kaca mata berbeda dan pemikiran berbeda maka akan menghasilkan sesuatu yang beda pula.
Paradigma Positivistik
Positivistik atau dikenal sebagai paham positivisme dibidani oleh dua pemikir prancis, Henry Sain Simon (1760 – 1825) dan muridnya Auguste Comte (1798 – 1857). Henry merupakan penggagas utama sedangkan Comte adalah penerus pengembang gagasan ini.[10] Positivisme pada zaman itu dikembangkan unuk melawan fisafat negatuf dari para ahli filsuf yaitu mereka yang masih percaya terhadap khayalan metafisika, karena positivisme lebih cenderung kearah segala sesuatu harus berdasarkan bukti empiris dan masuk akal. Sedangkan di Austria pada tahun 1920 an para fisuf yang satu aliran dengan Comte mencoba mengembangkan paradigma positivisme ini yaitu positivisme logis diamana mereka mencoba mengubah pola pandang masyarakat dari yang primitiv ke yang lebih modern, diamana modernisasi ini di tandai dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang nyata dan logis bukan lagi segala sesatu hal yang mitos tanpa ada pembuktian ilmiah yang masuk akal terlebih dahulu.
Psitivisme yang berarti apa yang berdasarkan fakta objektif ini secara tegas menyatakan dirinya adalah “Positif” yang berarti “nyata”. Dan tidak percaya terhadap sesuatu yang irasional. Misalnya: jika kita panaskan air hingga suhu 100ยบ C maka air akan mendidih. Norma – norma positivisme adalah sebagai berikut:
· Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa – kepastian (Sanse Of Certainity) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif
· Kepastian Metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
· Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori – teori yang secara formal dan kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis – hipotesis yang menyerupai hukum
· Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses – proses alam maupun sosial. Kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan ganya dengan mengakui asas – asas rasional. Bukan melalu perluasan buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori.
· Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif. Sesuai dengan sifat relatif dan semangat positif.[11]
Jadi, pada dasarnya secara epistimologis menyatakan bahwa positivisme dapat dikatagorikan sebagai realisme dan fondasionalisme epistimologis. Realisme epistimologis adalah pandangan yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat menggambarkan kenyataan secara apadanya berdasarkan nalar rasional manusia.
Penggambaran paradigma positivistisme secara umum sudah dijelaskan diatas dan pada bagian ini saya akan mencoba mempersempit keranah komunikasi dimana ketika paradigma positivisme digunakan untuk mengkaji sebuah ilmu komunikasi. Paradigma positivisme mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat, yang mencerminkan pengirim pesan (komunikator, encoder) untuk mengubah pengetahuan (sikap prilaku) penerima pesan (komunikan, decoder) yang pasif.[12] Dalam definisi diatas tercermin bahwa paradigma positivisme cenderung menilai effek responden (komunikan) terhadap pesan yang dikirim oleh komunikator dengan cara menilai proses decoding seorang komunikan dan semua itu didapat berdasarkan hasil perhitungan angka yang nyata karena kembali lagi bahwa paradigma ini selalu mempertanyakan bukti empiris yang nyata dan bukti tersebut tercermin dalam angka – angka hasil perhitungan.
Model Komunikasi Schramm |
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Dari model diatas dapat dijelaskan bahwa Interpreter (komunikan) yang dikaji dalam paradigma postivisme dan pengkajian ini menggunakan hasil dari decoding serta isi pesan. Yang artinya paradigma positivisme ini digunakan dalam metodelogi penelitian Kuantitatif yang cenderung melihat effek Komunikan terhadap isi pesan.
Paradigma konstrutivistik
Konstrutivistik berasumsi bahwa tidak dapat terpisahnya subjek dan objek komunikasi hal ini bertolak belakang dengan paradigma positivistik yang berasumsi bahwa subjek dan objek komunikasi adalah dua hal yang dapat terpisahkan. Konstrutivisme diambil dari kata “konstruksi” yakni merancang, apa yang dirancang? Disini pesan yang dirancang jadi konstrutivisme disebut juga sebagai pengkajian terhadap Bagaimana pesan di konstruksikan atau di susun. misalnya dapat dilihat dari teori agenda setting bagaimana berita disusun pada sebuah program berita teresterial, segmen satu berisi tentang apa, segmen dua berisi tentang apa dan sebagainya. Diperkuat dengan pernyataan Von Glasersfeld dalam bukunya Bettencourt konstruktivisme adalah salah satu filsafat ilmu pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstrusi (bentukan) kita sendiri.[13]
Bertolak belakang dari paradigma positivisme, menurut Driver dan Bell ilmu pengetahuan bukan hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang di temukan secara bebas (Einstein & Infeld dalam Bettencourt, 1989).[14] Dalam pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan positivisme yang mewajibkan seluruh ilmu pengetahuan bila ingin diakui harus berdasarkan aspek rasional dan dengan bukti empiris yang tepat serta diuji berdasarkan sistematis.
Jika positivisme membicarakan mengenai komunikasi massa yang berlangsung satu arah, pada konstrutivisme cenderung kearah komunikasi antar personal yang menginginkan terjadinya komunikasi dua arah. menurut Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungan dengan komunikasi:
· Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebeas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan suka rela, berdasarkan pilihan subjeknya
· Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan buka sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivistme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas teripta.
· Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.
· Teori – teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia disini bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya;
· Pengetahuan bersifat syarat nilai.[15]
Model Komunikasi Schramm |
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Dalam hal ini paradigma konstruktivisme lebih mengkaji soal pesan, dimana pesan di konstruksikan (dibentuk). Di dunia pertelevisian pesan disebut juga dengan teks dimana teks bukan hanyalah tulisan yang tercetak tetapi semua yang ada dalam layar kaca televisi mulai dari teks, audio, video bahkan grafis semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan keinginan komunikator agar dapat menyamakan persepsinya dengan komunikan. Meskipun pesan yang menjadi konsentrasi dalam paradigma konstrutivisme tetapi dalam hal ini encoding serta komunikator ikut menjadi pokok kajian demi menguak bagaimana pesan di konstruksikan. Pengkonstruksian pesan berhubungan dengan faktor – faktor pengendali dan pembentukan pesan di balik layar seperti ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media (bandingkan dengan McQuail, 1987), sebagai berikut:
Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.
Rutinitas media, berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
Organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Ekstra media. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:
Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.
Sumber penghasilan media, berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media (baca teori normatif komunikasi massa, dan teori makro). Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
Ideologi, diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.
Inilah yang dapat membentuk pesan (teks) sesuai agenda media, misalnya kita lihat dari bagaimana berita di bentuk mulai dari pendelegasian reporter dan camera person oleh kordinator liputan kelapangan hingga berita tersebut sampai dimeja redaksi dan dieksekusi yang disebut juga news judgement, pada tahapan ini pimpinan redaksi dan kultur media bermain jika pemilik media memiliki kecenderungan pada suatu kelompok maka media tersebut tidak akan menayangkan berita mengenai hal – hal apasajakah yang dapat memperburuk citra kelompoknya.
Paradigma Kritis
Paradigma kritis atau teori kritik masyarakat (Kritische Theorie der Gesellschaft) adalah produk dari sekolompok neo – marxis jerman yang tidak puas terhadap teori marxian (Bernstein, 1995; Kellner 1993).[16] Pada awalnya teori kritis lahir atas dasar kritik atas kapitalisme dan determinasi oleh para kaum marjinal. Akan tetapi saat ini teori kritis sudah menyebar di berbagai aspek seperti kritik atas positivisme yang disebut sebagai post – positivisme, kritik atas sosiologi, serta kritik atas masyarakat modern.
Dalam ilmu komunikasi yang dihubungkan dengan teori kritis, bahwa telah terjadi pengkritikan terhadap paradigma konstrutivisme yang kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna, konstrutivisme hanya berkonsentrasi pada pembentukan teks akan tetapi teori kritis lebih dalam lagi yakni memiliki konsentrasi pada komunikator lebih tepatnya pembongkaran ideologi komunikator, bukan lagi pembongkaran atas motiv komunikator tetapi ke tahta lebih tingginya yakni sebuah ideologi. Bukan sekedar bagaimana pesan tersebut di konstruksikan tapi bagaimana dibalik pesan tersebut terdapat pemaknaan yang tersimpan.
Model Komunikasi Schramm |
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Pada gambar diatas terlihat lingkaran merah tersebut adalah konsentrasi dalam paradigma kritis yaitu komunikator, pendalaman mengenai ideologi yang di bongkar ini perlu adanya bantuan dari isi pesan, decoding serta proses encodingnya. Jika dihubungkan dengan komunikasi dalam politik bahwa setiap komunikasi pasti memiliki motiv didalamnya. Bedakah dengan konstruktivisme? Jelas beda, jika konstruktivisme lebih kepada bagaimana pesan dibentuk dan kritis lebih kepada pembongkaran ideologi komunikator bukan sekedar pesan tetapi lebih mendalam soal itu.
Paradigma kritis atau teori kritik masyarakat
(Kritische Theorie der Gesellschaft) adalah produk dari sekolompok neo – marxis
jerman yang tidak puas terhadap teori marxian (Bernstein, 1995; Kellner 1993).[1]Pada
awalnya teori kritis lahir atas dasar kritik atas kapitalisme dan determinasi
oleh para kaum marjinal.Akan tetapi saat ini teori kritis sudah menyebar di
berbagai aspek seperti kritik atas positivisme yang disebut sebagai post –
positivisme, kritik atas sosiologi, serta kritik atas masyarakat modern.
Dalam ilmu komunikasi yang dihubungkan dengan teori
kritis, bahwa telah terjadi pengkritikan terhadap paradigma konstrutivisme yang
kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna, konstrutivisme
hanya berkonsentrasi pada pembentukan teks akan tetapi teori kritis lebih dalam
lagi yakni memiliki konsentrasi pada komunikator lebih tepatnya pembongkaran
ideologi komunikator, bukan lagi pembongkaran atas motiv komunikator tetapi ke
tahta lebih tingginya yakni sebuah ideologi. Bukan sekedar bagaimana pesan
tersebut di konstruksikan tapi bagaimana dibalik pesan tersebut terdapat
pemaknaan yang tersimpan.
Jurgen Habermas adalah
salah seorang tokoh dari Filsafat Kritis. Ciri khas dari filsafat kritisnya
adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan
sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya
sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi.
Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni.
Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang
nyata[2]
Aliran pemikiran kritis
ini mulai berkembang sekitar tahun dua puluhan. Tokoh-tokohnya antara lain
Georg Lukacs, Karl Korsch, Ernst Bloch, Antonio Gramsci dan seterusnya. Salah
satu aliran dalam pemikiran kritis adalah Teori Kritis Masyarakat. Teori Kritis
ini dikembangkan sejak tahun 30-an oleh tokoh-tokoh yang semula bekerja di
Institut fur Sozialforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah Marx
Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse serta anggota-anggota
lainnya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Frankfurt”[3]
Jugern Habermas adalah
pewaris dan pembaharu Teori Kritis. Meskipun ia sendiri tidak lagi dapat
dikatakan termasuk Mazhab Frankfurt, arah penelitian Habermas justru membuat
subur gaya pemikiran “Frankfurt” itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada
umumnya. Uraian singkat ini akan mencoba menelusuri perkembangan pemikirannya
Dengan begitu peneliti
memilih menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis karena
peneliti ingin mengungkapkan ideologi apa yang sebenarnya diusung oleh subjek
kajian yaitu dalam hal ini adalah program televisi. Selain usungan itu peneliti
ingin mengungkap ideologi apa yang ingin di terapkan kepada masyarakat agar
masyarat terpengaruh. Hal – hal ini dapat dilihat dari teks – teks yang di
tampilkan oleh awak media. Teks tersebut bukan berarti hanya tulisan tetapi
segala bentuk tanda seperti raut muka, bahasa tubuh, cara berpakaian, pemilihan
bahasam suara latar dan sebagainya yang dihadirkan dilayar kaca.