Wednesday, 7 October 2015

Semiotika

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan peotika. Akar namanya sendiri adalah “semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologio dan diagnostic inferensial (sinha, 1988: 3). “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.
Aristoteles delam hal ini sangat dekat dengan konsep penanda semacam ini. Penggantinya, mazhab Stoa, mengelaborasinya kedalam sebuah teori penyimpulan yang ketat (Eco, 1984 : 15), bahwa tanda adalah sebuah proposisi yang dikonstitusi oleh koneksi yang valid dan menjelaskan kepada konsekuensinya. Jelaslah bahwa pada masa ini studi tentang tanda lebih mengarah pada operasi penalaran (logika) dan kemungkinan – kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Ada catatan khusus terhadap Aristoteles yang mengaggap bahwa “pikiran” dapat di pertimbangkan sebagai “wakil – wakil dari hal – hal”, dan bahasa dalam hal ini adalah tanda dari pikiran. Aristoteles mengatakan bahwa kata – kata adalah “tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa”. Aristoteles (Ross. 1928: 16a) menyatakan:
            “Spoken words are the signs of affections of the soul, and written words are the signs of spoken words. Just as all men have not same writing. So all men have not the same speech sounds, but the affections of the soul wich these signify are the same for all, as also are those things of which our experiences are images.”
Kata – kata tuturan adalah tanda – tanda dari afeksi – afeksi jiwa, dan kata – kata tulis adalah tanda – tanda dari kata – kata tuturan. Sebagaimana semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki suara tuturan yang sama, tetapi afeksi – afeksi jiwa yang ditandai oleh kata – kata tuturan adalah sama bagi segalanya, sebagaimana juga hal – hal dari pengalam – pengalam kita adalah imaji  - imaji.
Pada awalnya sejak kemunculan semiotika yang di diperkenalkan oleh Saussure dan Pierce, maka semiology menitik beratkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya.Meskipun dalam semiotika Peirce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi Skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure menekankan pada linguistic, pada kenyatannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non linguistik.Sementara itu, bagi Barthes (1988: 179) semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things).[1]

     Terma semiotik bukanlah istilah baru, istilah ini berasal dari kata Yunani, semion, yang berarti tanda atau dari kata semeiotikos , yang berarti teori tanda. Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotik dapat pula diambil dari kata seme (Yunani) yang berati “penafsir tanda”. Akan tetapi, meskipun semiotik sudah dikenal sejak masa Yunani, sebagai salah satu cabang keilmuan, semiotik baru berkembang sekitar tahun 1900-an. Istilah keilmuan, semiotik pun digunakan pada abad ke-18 oleh Lembert, seorang filsif jeman. Selain Lembert, menurut R.H. Robin (1995: 258) terdapat beberapa ahli yang mempersoalkan tanda, yaitu Wilhelm von Humbolt dan Schliercher.
            Perbincangan sistematis semiotik menempati posisi signifikan dalam khaxanah ilmu pada abad ke-20, yaitu ketika logosentrisme menempati posisi penting dalam filsafat. Arus wacananya digulirkan dua tokoh founding father  semiotik, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce melalui karya anumerta. Meskipun hidup sezaman, kedua orang ini tidak saling mengenal karena tempat tinggal mereka berjauhan. Saussure berada di daratan Eropa, sedangkan Pierce berada di daratan amerika. Erus wacana semiotik yang mereka introdusir hampir bersamaan, sekalipun menyadarkan perinsip semiotik pada landasan yang berbeda hingga melahirkan konsep yang berbeda pula. Karena disiplik ilmu yang mereka tekuni berbeda, Pierce seorang pakar bidang linguistik dan logikam sedangkan Saussure seorang pakar linguistik modernm ada perbedaan mendasar dalam penerapan konsep – konsep semiotik sekarang ini.
            Berkat pemenemuannya dalam bidang semiotik, Ferdinand de Saussure (1875 – 1913) dinobatkan sebagai “Bapak Semiotika Modern” bersama – sama Charles Sanders Pierce (1839 – 1914). Semiotik pun menjadi yren dalam wacana pemikiran dengan lahirnya karya yang di beri lebel semiotik “sign” .[1]
Semiotika (juga disebut studi semiotik dan dalam tradisi Saussurean disebut semiologi) adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dankomunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik, yang untuk sebagian, mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang:
1.      Semantik: hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat; denotata mereka, atau makna
2.      Sintaksis: hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
3.      Pragmatik: hubungan antara tanda dan tanda-menggunakan agen
Semiotika sering dipandang memiliki dimensi antropologis penting; misalnya, Umberto Eco mengusulkan bahwa setiap fenomena budaya dapat dipelajari sebagai komunikasi.[2] Namun, beberapa ahli semiotik fokus pada dimensi logis dari ilmu pengetahuan. Mereka juga menguji area untuk ilmu kehidupan - seperti bagaimana membuat prediksi tentang organisme, dan beradaptasi, semiotik relung mereka di dunia (lihat semiosis). Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka: komunikasi informasi dalam organisme hidup tercakup dalam biosemiotik (termasuk zoosemiotik).
Sintaksis adalah cabang dari semiotika yang berhubungan dengan sifat-sifat formal tanda dan simbol.[3] Lebih tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan yang mengatur bagaimana kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat".
Charles Morris menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan; dan, penawaran pragmatik dengan aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi tanda-tanda.
Dari semiotika Ferfinand de Saussere  kemudian hingga masuk kepada semiotika Charles Sanders Pierce, kemudian bermunculan para ahli semiotika yang menggunakan jenis paradigm yang sama dengan kedua penemu ini yaitu paradigm konstruktifis, lalu sampai pada era Roland Barthes yang memiliki perbedaan pada cara pandang memandang kasus semiotika ini, dimana Barthes memandang semiotika menggunakan paradigm kritis meskipun tak dipungkiri terkadang Barthes bermain di dua wilayah yakni konstruktifis seperti para pendahulunya dan kritis.

[1]Rusmana Dadan. 2014. Filsafat Semiotika. Bandung : Pustaka Setia. Hlm 20
[2]Caesar, Michael. 1999. Umberto Eco: Philosophy, Semiotics, and the Work of Fiction. Wiley-Blackwell. hlm. 55. ISBN 978-0-7456-0850-1.
[3]The American Heritage Dictionary of the English Language: Syntactics



[1]Kurniawan. 2001.Semiologi Roland Barthes. Jakarta : Indonesiatera. Hal 53
Share:

Wednesday, 30 September 2015

Trio Paradigma

Paradigma atau persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpertasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian dalam proses komunikasi. Untuk lebih memahami persepsi berikut adalah beberapa pengertian persepsi lainya:
1. Brian Fellows, Persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi.
2. Kenneth A. Sereno dan Edward M. Bodaken, Persepsi adalah sarana yang memungkinkan kita memperoleh kesadaran akan sekeliling dan lingkungan kita.
3. Philip Goodacre dan Jennifer Follers, Persepsi adalah proses mental yang di gunakan untuk mengenali rangsangan melalui alat – alat panca indra.
4. Joseph A. Devito,  Persepsi adalah proses dengan mana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. [9]
Jadi pada dasarnya persepsi atau paradigma adalah cara bagaimana seseorang menginterpretasikan sebuah masalah atau fenomena, dalam hal ini akan dibahasnya menganai paradigma positivistik, konstruktivistik serta kritis. Ketiga paradigma ini dapat dianalogikan sebagai kaca mata, diamana ketiga kaca mata ini memiliki jenis dan lensa yang berbeda dengan begiu ketika kita melihat satu objek yang sama sekalipun dengan menggunakan ketiga jenis kaca mata ini bergantian otomatis objek yang sama tersebut akan terlihat berbeda dengan kaca mata yang berbeda, dengan demikiaan  begitu pula dengan cara kita melihat dan menginterpretasikan suatu masalah dengan kaca mata berbeda dan pemikiran berbeda maka akan menghasilkan sesuatu yang beda pula.

 Paradigma Positivistik
Positivistik atau dikenal sebagai paham positivisme dibidani oleh dua pemikir prancis, Henry Sain Simon (1760 – 1825) dan muridnya Auguste Comte (1798 – 1857). Henry merupakan penggagas utama sedangkan Comte adalah penerus pengembang gagasan ini.[10] Positivisme pada zaman itu dikembangkan unuk melawan fisafat negatuf dari para ahli filsuf yaitu mereka yang masih percaya terhadap khayalan metafisika, karena positivisme lebih cenderung kearah segala sesuatu harus berdasarkan bukti empiris dan masuk akal. Sedangkan di Austria pada tahun 1920 an para fisuf yang satu aliran dengan Comte mencoba mengembangkan paradigma positivisme ini yaitu positivisme logis diamana mereka mencoba mengubah pola pandang masyarakat dari yang primitiv ke yang lebih modern, diamana modernisasi ini di tandai dengan kepercayaan terhadap sesuatu yang nyata dan logis bukan lagi segala sesatu hal yang mitos tanpa ada pembuktian ilmiah yang masuk akal terlebih dahulu.
Psitivisme yang berarti apa yang berdasarkan fakta objektif  ini secara tegas menyatakan dirinya adalah “Positif” yang berarti “nyata”. Dan tidak percaya terhadap sesuatu yang irasional. Misalnya: jika kita panaskan air hingga suhu 100º C maka air akan mendidih. Norma – norma positivisme adalah sebagai berikut:
·         Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa – kepastian (Sanse Of Certainity) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif
·         Kepastian Metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode.
·         Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori – teori yang secara formal dan kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis – hipotesis yang menyerupai hukum
·         Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu pengetahuan memungkinkan kontrol teknis atas proses – proses alam maupun sosial. Kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan ganya dengan mengakui asas – asas rasional. Bukan melalu perluasan buta dari riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori.
·         Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif. Sesuai dengan sifat relatif dan semangat positif.[11]
Jadi, pada dasarnya secara epistimologis menyatakan bahwa positivisme dapat dikatagorikan sebagai realisme dan fondasionalisme epistimologis. Realisme epistimologis adalah pandangan yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat menggambarkan kenyataan secara apadanya berdasarkan nalar rasional manusia.
Penggambaran paradigma positivistisme secara umum sudah dijelaskan diatas dan pada bagian ini saya akan mencoba mempersempit keranah komunikasi dimana ketika paradigma positivisme digunakan untuk mengkaji sebuah ilmu komunikasi. Paradigma positivisme mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses linier atau proses sebab akibat, yang mencerminkan pengirim pesan (komunikator, encoder) untuk mengubah pengetahuan (sikap prilaku) penerima pesan (komunikan, decoder) yang pasif.[12] Dalam definisi diatas tercermin bahwa paradigma positivisme cenderung menilai effek responden (komunikan) terhadap pesan yang dikirim oleh komunikator dengan cara menilai proses decoding seorang komunikan dan semua itu didapat berdasarkan hasil perhitungan angka yang nyata karena kembali lagi bahwa paradigma ini selalu mempertanyakan bukti empiris yang nyata dan bukti tersebut tercermin dalam angka – angka hasil perhitungan.
Model Komunikasi Schramm
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Dari model diatas dapat dijelaskan bahwa Interpreter (komunikan) yang dikaji dalam paradigma postivisme dan pengkajian ini menggunakan hasil dari decoding serta isi pesan. Yang artinya paradigma positivisme ini digunakan dalam metodelogi penelitian Kuantitatif  yang cenderung melihat effek Komunikan terhadap isi pesan.

Paradigma konstrutivistik
Konstrutivistik berasumsi bahwa tidak dapat terpisahnya subjek dan objek komunikasi hal ini bertolak belakang dengan paradigma positivistik yang berasumsi bahwa subjek dan objek komunikasi adalah dua hal yang dapat terpisahkan. Konstrutivisme diambil dari kata “konstruksi” yakni merancang, apa yang dirancang? Disini pesan yang dirancang jadi konstrutivisme disebut juga sebagai pengkajian terhadap Bagaimana pesan di konstruksikan atau di susun. misalnya dapat dilihat dari teori agenda setting bagaimana berita disusun pada sebuah program berita teresterial, segmen satu berisi tentang apa, segmen dua berisi tentang apa dan sebagainya. Diperkuat dengan pernyataan Von Glasersfeld dalam bukunya Bettencourt konstruktivisme adalah salah satu filsafat ilmu pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstrusi (bentukan) kita sendiri.[13]
Bertolak belakang dari paradigma positivisme, menurut Driver dan Bell ilmu pengetahuan bukan hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan, terutama sains, adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang di temukan secara bebas (Einstein & Infeld dalam Bettencourt, 1989).[14] Dalam pernyataan ini sangat bertolak belakang dengan positivisme yang mewajibkan seluruh ilmu pengetahuan bila ingin diakui harus berdasarkan aspek rasional dan dengan bukti empiris yang tepat serta diuji berdasarkan sistematis.
Jika positivisme membicarakan mengenai komunikasi massa yang berlangsung satu arah, pada konstrutivisme cenderung kearah komunikasi antar personal yang menginginkan terjadinya komunikasi dua arah. menurut Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungan dengan komunikasi:
·         Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebeas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan suka rela, berdasarkan pilihan subjeknya
·         Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan buka sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivistme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas teripta.
·         Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.
·         Teori – teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia disini bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan diluar dirinya;
·         Pengetahuan bersifat syarat nilai.[15]
Model Komunikasi Schramm
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Dalam hal ini paradigma konstruktivisme lebih mengkaji soal pesan, dimana pesan di konstruksikan (dibentuk). Di dunia pertelevisian pesan disebut juga dengan teks dimana teks bukan hanyalah tulisan yang tercetak tetapi semua yang ada dalam layar kaca televisi mulai dari teks, audio, video bahkan grafis semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai dengan keinginan komunikator agar dapat menyamakan persepsinya dengan komunikan. Meskipun pesan yang menjadi konsentrasi dalam paradigma konstrutivisme tetapi dalam hal ini encoding serta komunikator ikut menjadi pokok kajian demi menguak bagaimana pesan di konstruksikan.  Pengkonstruksian pesan berhubungan dengan faktor – faktor pengendali dan pembentukan pesan di balik layar seperti ada  lima  faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media (bandingkan dengan McQuail, 1987), sebagai berikut:
        Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level indivual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, dan sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi profesionalisme dalam pemberitaan media.
       Rutinitas media, berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.
       Organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu . Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
         Ekstra media. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media:
        Sumber berita. Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.
          Sumber penghasilan media, berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalnya media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara memaksa media mengembargo berita yang buruk bagi mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus-menerus diliput oleh media. Media tidak akan menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
          Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media (baca teori normatif komunikasi massa, dan teori makro). Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.
              Ideologi, diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas.
Inilah yang dapat membentuk pesan (teks) sesuai agenda media, misalnya kita lihat dari bagaimana berita di bentuk mulai dari pendelegasian reporter dan camera person oleh kordinator liputan kelapangan hingga berita tersebut sampai dimeja redaksi dan dieksekusi yang disebut juga news judgement, pada tahapan ini pimpinan redaksi dan kultur media bermain jika pemilik media memiliki kecenderungan pada suatu kelompok maka media tersebut tidak akan menayangkan berita mengenai hal – hal apasajakah yang dapat memperburuk citra kelompoknya.

Paradigma Kritis
Paradigma kritis atau teori kritik masyarakat (Kritische Theorie der Gesellschaft) adalah produk dari sekolompok neo – marxis jerman yang tidak puas terhadap teori marxian (Bernstein, 1995; Kellner 1993).[16] Pada awalnya teori kritis lahir atas dasar kritik atas kapitalisme dan determinasi oleh para kaum marjinal. Akan tetapi saat ini teori kritis sudah menyebar di berbagai aspek seperti kritik atas positivisme yang disebut sebagai post – positivisme, kritik atas sosiologi, serta kritik atas masyarakat modern.
Dalam ilmu komunikasi yang dihubungkan dengan teori kritis, bahwa telah terjadi pengkritikan terhadap paradigma konstrutivisme yang kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna, konstrutivisme hanya berkonsentrasi pada pembentukan teks akan tetapi teori kritis lebih dalam lagi yakni memiliki konsentrasi pada komunikator lebih tepatnya pembongkaran ideologi komunikator, bukan lagi pembongkaran atas motiv komunikator tetapi ke tahta lebih tingginya yakni sebuah ideologi. Bukan sekedar bagaimana pesan tersebut di konstruksikan tapi bagaimana dibalik pesan tersebut terdapat pemaknaan yang tersimpan. 

Model Komunikasi Schramm
Sumber. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Deddy Mulyana)
Pada gambar diatas terlihat lingkaran merah tersebut adalah konsentrasi dalam paradigma kritis yaitu komunikator, pendalaman mengenai ideologi yang di bongkar ini perlu adanya bantuan dari isi pesan, decoding serta proses encodingnya. Jika dihubungkan dengan komunikasi dalam politik bahwa setiap komunikasi pasti memiliki motiv didalamnya. Bedakah dengan konstruktivisme? Jelas beda, jika konstruktivisme lebih kepada bagaimana pesan dibentuk dan kritis lebih kepada pembongkaran ideologi komunikator bukan sekedar pesan tetapi lebih mendalam soal itu.

Paradigma kritis atau teori kritik masyarakat (Kritische Theorie der Gesellschaft) adalah produk dari sekolompok neo – marxis jerman yang tidak puas terhadap teori marxian (Bernstein, 1995; Kellner 1993).[1]Pada awalnya teori kritis lahir atas dasar kritik atas kapitalisme dan determinasi oleh para kaum marjinal.Akan tetapi saat ini teori kritis sudah menyebar di berbagai aspek seperti kritik atas positivisme yang disebut sebagai post – positivisme, kritik atas sosiologi, serta kritik atas masyarakat modern.
Dalam ilmu komunikasi yang dihubungkan dengan teori kritis, bahwa telah terjadi pengkritikan terhadap paradigma konstrutivisme yang kurang sensitif terhadap proses produksi dan reproduksi makna, konstrutivisme hanya berkonsentrasi pada pembentukan teks akan tetapi teori kritis lebih dalam lagi yakni memiliki konsentrasi pada komunikator lebih tepatnya pembongkaran ideologi komunikator, bukan lagi pembongkaran atas motiv komunikator tetapi ke tahta lebih tingginya yakni sebuah ideologi. Bukan sekedar bagaimana pesan tersebut di konstruksikan tapi bagaimana dibalik pesan tersebut terdapat pemaknaan yang tersimpan.
Jurgen Habermas adalah salah seorang tokoh dari Filsafat Kritis. Ciri khas dari filsafat kritisnya adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa diri bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata[2]
Aliran pemikiran kritis ini mulai berkembang sekitar tahun dua puluhan. Tokoh-tokohnya antara lain Georg Lukacs, Karl Korsch, Ernst Bloch, Antonio Gramsci dan seterusnya. Salah satu aliran dalam pemikiran kritis adalah Teori Kritis Masyarakat. Teori Kritis ini dikembangkan sejak tahun 30-an oleh tokoh-tokoh yang semula bekerja di Institut fur Sozialforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse serta anggota-anggota lainnya. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Frankfurt”[3]
Jugern Habermas adalah pewaris dan pembaharu Teori Kritis. Meskipun ia sendiri tidak lagi dapat dikatakan termasuk Mazhab Frankfurt, arah penelitian Habermas justru membuat subur gaya pemikiran “Frankfurt” itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Uraian singkat ini akan mencoba menelusuri perkembangan pemikirannya
Dengan begitu peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis karena peneliti ingin mengungkapkan ideologi apa yang sebenarnya diusung oleh subjek kajian yaitu dalam hal ini adalah program televisi. Selain usungan itu peneliti ingin mengungkap ideologi apa yang ingin di terapkan kepada masyarakat agar masyarat terpengaruh. Hal – hal ini dapat dilihat dari teks – teks yang di tampilkan oleh awak media. Teks tersebut bukan berarti hanya tulisan tetapi segala bentuk tanda seperti raut muka, bahasa tubuh, cara berpakaian, pemilihan bahasam suara latar dan sebagainya yang dihadirkan dilayar kaca.



[1]Syaiful Halim. .Postkomodikasi Media. (Yogyakarta; Jalasutra,2013). Hal 13
[2]Franz Magnis-Suseno. 1992.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius. Hal 176.
[3] Ibid. Hlm 177
Share:

Komunikasi LINTAS Budaya dan Komunikasi ANTAR Budaya


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan komunikasi yang baik.
Tidaklah asing bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah indonesia hingga Indonesia disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. Hal ini patutlah membuat kita sebagai warga Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. Akan tetapi pada Kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan (bahasa, tradisi atau norma-norma) yang berlaku dari suatu daerah.
Oleh karena itu, disini manfaatnya kita perlu belajar mengenai bagaimana cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara indonesia misalnya (Cina, Jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya). Dalam makalah ini akan dibahasnya mengenai: perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dengan Komunikasi Antar Budaya, Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya, serta Komunikasi Verbal dan Non Verbal.

Perbedaan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunikasi Antar Budaya
Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (E. B Taylor). Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang tersebut menyandi pessan, makna yang ia miliki untuk pesan, serta kondisi – kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.[1]
Komunikasi Antar Budaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya.  Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya (selanjutnya disingkat KAB). Jadi pada dasarnya komunikasi antar budaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya melalu verbal ataupun nonverbal.[2]
Sementara itu Komunikasi lintas budaya / KLB (cross-cultural communication) secara tradisional membandingkan fenomena komunikasi dalam budaya-budaya berbeda. Contoh bagaimana gaya komunikasi pria dalam budaya Amerika dan budaya Indonesia. Tetapi lambat laun KAB dan KLB sering dipertukarkan. Secara konvensional KAB lebih luas dan lebih komprehensif daripada KLB.[3]
Berikut perbedaan – perbedaan Komunikasi Antar Budaya dan Komunikasi Lintas Budaya.
No.
Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi Antar Budaya
1
Awalnya diartikan sebagai proses mempelajari komunikasi di antara individu maupun kelompok suku bangsa dan ras yang berbeda negara. Karena pasti beda negara pasti beda kebudayaan.
Komunikiasi antarpribadi yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dalam suku bangsa yang sama.
2
Menekankan perbandingan kebudayaan
Menekankan interaksi yang terjadi antar pribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan

Simbol dan Bahasa Dalam Komunikasi Antar Budaya
            Pada dasarnya pembicaraan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah symbol dan sign (tanda). Kita berbicara sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Keunikan kualitas tanda terletak pada hubungan ‘satu persatu’, hubungan itu dapat diartikan bahwa tanda memberikan makna yang sama bagi semua orang yang menggunakannya. Jadi, setiap tanda berhubungan langsung dengan objeknya, apalagi semua orang memberikan makna yang sama atas tanda tersebut sebagai hasil konvensi. Tanda, langsung mewakili sebuah realitas.  Kalau Anda mengendarai mobil dan berhadapan dengan tanda lalu lintas maka tanda itu berfungsi memerintah atau mewajibkan, melarang, dan memberikan informasi kepada anda dan setelah melihat tanda itu anda langsung mengetahui apa yang harus dilakukan.
            Simbol berasal dari bahasa Latin symbolycum (semula dari bahasa Yunani sumbolon, yang berarti tanda untuk mengartikan sesuatu). Sebuah symbol adalah ‘sesuatu’ yang terdiri atas ‘sesuatu yang lain’. Suatu makna dapat ditunjukkan oleh symbol. Cincin merupakan symbol perkawinan, bendera merupakan simbol suatu Negara, jilbab adalah simbol bagi wanita muslim dan sebagainya.[4]
Bahasa adalah alat yang dapat mengembangkan cara manusia hidup, berfikir, bepengetahuan, menyusun konsep tentang duniannya dengan menungkapkannya secara lisan maupu tulisan (Alo Liliweri).[5]
            Simbol dan bahasa memiliki peran yang amat penting dalam komunikasi antar budaya yakni sebagai cerminan budaya itu sendiri dan dapat kita jadikan sebagai karakterisktik budaya tersebut. Dengan simbol dan bahasa pula kita dapat memahami budaya tersebut dan kita dapat berkomunikasi antar budaya dengan tepat, akan tetapi karena disetiap daerah memilik simbol dan bahasa yang berbeda membuat kita menjadi bingung jika sebelumnya kita belum pernah mengenal bahkan mengetahui simbol dan bahasa dalam budaya tersebut, hal ini akan menjadi hambatan bagi kita yang baru memasuki wilayah tersebut. Jadi ada baiknya sebelum kita memasuki suatu daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, lakukan lah riset pada kebiasaan – kebiasaan apa saja yang ada didaerah tersebut, bagaimana cara masyarakat menyimbolkan sesuatu hal, dan bahasa apa yang masyarakat pergunakan. Itu akan memudahkan kita untuk dapat berinteraksi dengan mudah di suatu daerah baru.

Komunikasi Verbal dan Non Verbal dalam Komunikasi Antar Budaya
Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya yakni, bahasa verbal dan non verbal memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi, bahasa non verbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal atau dengan kata lain bahsa non verbal sebagai penjelas dari bahasa verbal.

Komunikasi Verbal
Secara etimologis, kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian, atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata ‘verbal’ sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata-kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan daripada tulisan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa komunikasi verbal adalah bahasa – kata dengan aturan tata bahasa, baik secara lisan maupun secara tertulis. Dan hanya manusia yang dapat melambangkan keadaan dunia malalui bahasa.
Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Kemungkinan adanya hubungan antara bahasa dan budaya telah dirumuskan ke dalam suatu hipotesis oleh dua ahli linguistic Amerika, Edward Sapir dan Benjamin L. Whorf yang kemudian dikenal dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang sering disebut juga Tesis Whorfian. Menurut Sapir, manusia tidak hidup di pusat keseluruhan dunia, namun hanya di sebagiannya, bagian yang diberitahukan oleh bahasanya. Menurut Sapir, “sangat bergantung pada bahasa tertentu yang menjadi medium ekspresi” bagi kelompoknya. Oleh karena itu, dunia riilnya “sebagian besar secara tidak disadari dibangun atas kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok….Dunia-dunia di mana masyarakat-masyarakat hidup adalah dunia berlainan..” Bagi Sapir dan Whorf, bahasa menyediakan suatu jaringan jalan yang berbeda bagi setiap masyarakat yang sebagai akibatnya, memusatkan diri pada aspek-aspek tertentu realitas.
Dalam hipotesis tersebut, perbedaan-perbedaan antara bahasa-bahasa jauh lebih besar daripada sekedar hambatan-hambatan untuk berkomunikasi. Perbedaan-perbedaan itu menyangkut perbedaan-perbedaan dasar dalam pandangan dunia (world view) berbagai bangsa dan dalam apa yang mereka pahami tentang lingkungan. Bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, mempertajam, dan memperlembut.
Menurut Brown, orang mengkategorikan dunia dengan melekatkan label terhadap apa yang penting atau ada di luar sana. Dan mengabaikan serta tidak memberi nama bagi kategori-kategori yang mereka anggap tidak penting. Contohnya, orang-orang Eskimo dapat menggunakan kira-kira dua puluh kata untuk menyebut wujud-wujud salju yang berlainan (karena sebagian besar wilayahnya tertutup salju sehingga salju merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakatnya). Sementara orang Inggris hanya dapat membedakan salju yang lengket, hujan es, hujan es bercampur salju, dan es (karena mereka memiliki empat musim yang berlainan). Orang Indonesia atau negara-negara lain mungkin hanya mengenal satu atau dua kata saja untuk melukiskan salju. Jelasnya, budaya-budaya lain dapat mengidentifikasi nuansa salju yang berbeda-beda, hanya saja karena fenomena salju itu bagi budaya-budaya lain itu tidak sepenting seperti bagi orang Eskimo.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya, terdapat hambatan - hambatan dalam interaksi bahasa verbal, yaitu :
a.    Polarisasi
Polarisasi adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikanya dalam bentuk ekstrim – baik atau buruk, positif atau negative, sehat atau sakit, pandai atau bodoh. kita mempunyai kecenderungan kuat untuk hanya melihat titik-titik ekstrim dan mengelompokkan manusia, obyek, dan kejadian. Sementara itu banyak juga orang-orang berada pada titik tengah-tengah dari keekstriman tersebut. Seandainya komunikator maupun komunikan melihat seperti itu maka sudah dapat dipastikan di antara keduanya selalu akan terjadi sikap apriori. Padahal pada konteks tersebut dibutuhkan komunikator dan komunikan harus bersikap netral.

b.    Orientasi Intensional
Mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, obyek, dan kejadian sesuai dengan ciri yang melekat pada mereka. Misalnya, seorang presenter yang berbicara di layar tv, dan kebetulan wajah presenter tersebut kurang menarik, maka biasanya komunikan akan intensional menilainya sebagai tidak menarik sebelum mendengar apa yang dikatakannya. Orientasi intensional terjadi bila kita bertindak seakan-akan label adalah lebih penting daripada orangnya sendiri. Sebaliknya, orientasi ekstensional adalah kecenderungan untuk terlebih dahulu memandang manusia, obyek, dan kejadian dan baru setelah itu memerhatikan cirinya.

c.    Kekacauan karena keliru menyimpulkan fakta
Kita dapat membuat pernyataan tentang dunia yang kita amati, dan kita dapat membuat pernyataan tentang apa yang belum pernah kita lihat. Dari segi bentuk atau struktur, pernyataan-pernyataan ini sama saja, dan kita tidak dapat membedakan mereka dengan analisis gramatika. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Ia mengenakan jaket biru,” seperti juga kita dapat mengatakan “Ia melontarkan tatapan yang penuh kebencian”. Dari segi struktur, kedua kalimat ini serupa. Tetapi kita tahu bahwa keduanya merupakan jenis pernyataan yang sangat berbeda. Kita dapat melihat jaket dan warnanya yang biru, tetapi bagaimana kita melihat “tatapan yang penuh kebencian?” Jelas, ini bukanlah pernyataan deskriptif, melainkan pernyataan inferensial (penyimpulan). Ini adalah pernyataan yang dibuat berdasarkan bukan hanya pada apa yang kita lihat, melainkan juga pada apa yang kita simpulkan.

d.    Potong kompas
Potong kompas adalah pola kesalahan evaluasi di mana orang gagal mengkomunikasikan makna yang mereka maksudkan. William Haney (1973) mendefinisikan sebagai “pola salah komunikasi yang terjadi bila pengirim pesan dan penerima saling menyalah-artikan makna pesan mereka”. Asumsi yang mendasari potong kompas adalah bahwa kata-kata memiliki makna intrinsic. Kita secara keliru menganggap bahwa bila dua orang menggunakan kata yang sama, mereka memaksudkan hal yang sama pula, dan bila mereka menggunakan kata yang berbeda mereka memaksudkan hal yang berbeda. Tetapi, kata tidak mempunyai makna makna ada dalam diri manusia. Pasangan yang sedang jatuh cinta, mungkin mempunyai maksud yang berbeda. Yang seorang mungkin bermaksud menyatakan adanya komitmen yang langgeng dan eksklusif, sementara yang lain mungkin mengartikannya sebagai hubungan seksual.

e.    Kesemuan
Karena dunia ini sangat kompleks, kita tidak pernah bisa mengetahui semua hal atau mengatakan segalanya tentang sesuatu. Kita tidak pernah melihat sesuatu secara keseluruhan. Kita melihat bagian dari suatu obyek, kejadian, atau orang, dan atas dasar yang terbatas itu kemudian kita menyimpulkan bagaimana rupa keseluruhan. Tentu saja kita tidak mungkin membuat kesimpulan dengan bukti-bukti yang tidak memadai karena akan berdampak pada kekeliruan di masa datang.

f.      Evaluasi Statis
Bila kita membuat abstraksi (ringkasan) tentang sesuatu atau seseorang, atau kita merumuskan pernyataan verbal tentang suatu kejadian atau seseorang, pernyataan ringkas itu bersifat statis dan tidak berubah. Menurut persepsi kita, cara berkomunikasi dan materi komunikasi komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itu pun tidak baik. Evaluasi kita tentang komunikator tersebut bersifat statis tetap seperti itu dan tidak berubah. Akibatnya, mungkin selamanya kita tidak akan mau menonton atau mendengar komunikator tersebut berbicara. Sebuah kesalahan pada saat proses komunikasi tidak dapat di balik atau di kembalikan seperti semula dengan kata lain seperti yang dikatakan dalam prinsip komunikasi bersifat irreversible. Padahal, seharusnya kita menyadari bahwa obyek atau orang yang kita bicarakan itu dapat sangat berubah.

g.    Indiskriminasi
Indiskriminasi terjadi bila kita memusatkan perhatian pada sekelompok orang, benda, atau kejadian dan tidak mampu melihat bahwa masing-masing bersifat unik atau khas dan perlu diamati secara individual. Indiskriminasi juga merupakan inti dari stereotip. Terlepas dari apakah stereotip itu positif atau negative, masalah yang ditimbulkannya tetap sama. Sikap ini sering membuat kita mengambil jalan pintas yang seringkali tidak tepat. Ketika kita bertemu dengan seseorang yang belum pernah kita kenal maka kita akan mengelompokannya ke dalam kategori-kategori tertentu, seperti; agama, ras, disiplin ilmu. Hal yang seringkali dilupakan bahwa mereka memiliki kekhasan tertentu yang membedakannya dengan manusia lain bukan selalu berdasarkan kategori-kategori tersebut. Misalnya, komunikator yang berasal dari suku Batak, maka komunikan memberikan gambaran komunikator tersebut berkarakter keras. Atau bila komunikator itu berasal dari disiplin ilmu hukum, komunikan memberikan gambaran komunikator bersifat kaku dan sangat detil. Pada akhirnya, apapun macam kategori yang digunakan oleh komunikan, komunikan lupa memberikan perhatian yang cukup terhadap karakteristik khas komunikator. Indiskriminasi merupakan pengingkaran dari kekhasan orang lain.[6]

Selain itu bahasa dalam proses komunikasi antar budayanya juga memiliki fungsi – fungsi sebagai berikut:
a.    Bahasa digunakan untuk menjelaskan dan membedakan sesuatu. Kata “Dhalem”  yang diucapkan oleh sungkono berbeda dengan kata “apa”. Tapi orang Indonesia pada umumnya tahu bahwa kata “dhalem” itu merujuk pada bahasa jawa.

b.    Bahasa berfungsi sebagai sarana interaksi sosial. Kita dalam berinteraksi harus tahu bahwa siapa lawan interaksi kita (komunikan), dari tingkatan mana yang artinya kita harus dapat tepat memilih menggunakan low contac atau high contac. Seperti ketika anda sedang bertugas memberikan penyuluhan tentang KB di daerah terpencil dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta ditambahkan dengan bahasa – bahsa kedokteran. Apa yang akan terjadi? Pesan yang anda ingin sampaikan tidak akan tersampaikan karena bahasa yang digunakan terlalu canggih.

c.    Bahasa berfungsi sebagai sarana pelepas tekanan dan emosi. Bila kita sedang merasakan kegembiraan, kesedihan, atau pun marah maka kata – kata yang diucapkan akan mengandung makna perasaan tersebut. Kata : aduh, hore, dan sebagainya adalah pelampiasan dari perasaan yang sedang kita alami.

d.    Bahasa sebagai sarana manipulatif. Bahasa digunakan untuk mengubah tingkah laku seseorang  yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindakan yang salah.[7]

Komunikasi Non Verbal
Kita mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya namun juga melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima, jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan kita mengirim banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.    
Dalam proses non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan penggunaan dan pengaturan ruang. Sebenarnya sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial, di Amerika Serikat kaum wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan (berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak penting. Dan beberapa suku Indian Amerika mengajari anak-anak mereka bahwa kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurang sopanan. Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya.
Sebagai suatau komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa. Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya – apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut. Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita bagaiman kita mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.
Dari penjelasan diatas tentang prilaku komunikasi nonverbal diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting yang menjadi yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal.
Ciri – ciri tersebut penting untuk diketahui dan dipahami terutama dalam kaitanya dengan komunikasi antar budaya. Beberapa hal tersebut adalah:
a.    Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna berbeda diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berbeda pula. Misalnya mencubit bisa berarti ungkapan rasa sayang dan berarti pula bisa sebagai ungkapan kesal dalam situasi dan kondisi yang berbeda.

b.    Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat atau bangsa yang satu dengan masyarakat dari bangsa yang lainnya. Contohnya, pada bangsa Indonesia menggelengkan kepala berarti menandakan “tidak”, sedangkan untuk bangsa India menggelengkan kepala berarti menandakan setuju “iya”.

c.    Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya. Jadi adakalanya suatu prilaku yang sama akan berbeda artinya jika pesan verbal yang dikatakanya berbeda. Misalnya, ketikan seseorang menggarukkan kepalanya disertai dengan kata “aduh gatal sekali kepala ini” berarti itu menandakan bahwa ia memang benar sedang merasakan kepalanya gatal. Akan tetapi jika disertai dengan “aduh apa ya, hmmm bingung” itu kan diartikan seperti ia sedang bingung.

d.    Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebgai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikan. Misalnya, jika seseorang mengungkapkan rasa bahagia, kita harus melihat apakah prilaku nonverbal yang diperlihatkanya mendukung pesan – pesan verbalnya atau tidak. Seperti, ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan lain – lainya.

e.    Pesan nonverbal dapat bermakna ganda biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidak sesuaian antara pesan verbal dan pesan nonverbal. Misalnya, seseorang mengatkan bahwa dirinya sedang bahagia tetapi rasa bahagia itu tidak diekspresikan dengan prilaku nonverbal untuk mendukung apa yang dikatakan, seperti ekspresi wajah yang sendu atau gerakan tubuh yang lunglai. Ketika kita berada dalam posisi tersebut dan biasanya dalam kegiatan komunikasi, kita lebih percaya pada prilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh lawan bicara kita.

f.     Pesan nonverbal diekspresikan secara bersama – sama oleh seluruh tubuh manusia untuk mengkomunikasikan pesan – pesan tertentu. Misalnya, rasa bahagia tidak hanya diungkapkan oleh ekspresi wajah saja tetapi juga dengan sorotan mata, gerakan tangan, dan sikap tubuh, jadi pemahaman prilaku nonverbal harus dilihat secara menyeluruh.

g.    Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Misalnya di Indonesia memegang kepala anak berarti sebagai tanda menyayanginya, sebaliknya di Muangthai itu dianggap sebagai pelanggaran sosial.[8]

Dalam proses komunikasinya, Komunikasi non verbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting, yakni :
a.    Repetisi atau mengulangi prilaku verbal
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal di sini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. Misalnya, kepala digelengkan ketika mengatakan ”tidak” atau menganggukkan kepala berbarengan dengan mengatakan “iya”.

b.    Memperteguh, menekankan atau melengkapi prilaku verbal
Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal, serta juga menggunakan nya untuk memperkuat warna atau pelengkap yang sudah dinyatakan oleh pesan verbal. Misalnya, ketika kita mendeskripsikan tinggi maka tangan kita di gerakan dengan mengangkat tangan kira-kira setinggi yang maksudkan. Atau saat kita berpidato melakukkan geraka – gerakan tangan serta bahasa tubuh lainya.

c.    Nonverbal dapat menggantikan prilaku verbal.
Menggoyangkan tangan dengan telapak tangan menghadap ke depan (sebagai pengganti kata “tidak”). Atau menunjuk dengan jari telunjuk ke arah ruang depan untuk menjawab pertanyaan  dari seorang yang bertanya “dimana si Ali?”.

d.    Regulasi (mengatur) prilaku verbal
Ketika kita berada didalam ruang kuliah lalu anda mengenakan jaket, membereskan buku, dan melihat jam tangan anda ketika waktu kuliah hampir habis, sehingga doesen segera menutup kuliahnya.

e.    Membantah atau kontradiksi dengan prilaku verbal.
Saat istri menanyakan komentar mengenai baju baru yang dibelinya ke pada suami dan si suami mengatakan “bagus!. Bagus!” tetapi seraya membaca koran. Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbalnya.[9]





[1] Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat.Komunikasi Antar Budaya.(Bandung:Rosdakarya.2006).19
[2] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).3
[3] SM NIKEN RESTATY, S.Sos, M.Si.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
[4] Ira Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).4
[5] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.20
[6] Ita Purwitasari.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).9
[7] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).5.21
[8] Alex H. Rumomdor.Modul Komunikasi Antar Budaya.(Universitas Mercu Buana).6.8
[9] Riswandi.Ilmu Komunikasi.(Yogyakarta:Graha Ilmu.2009).70
Share: