Pengertian
Field Research
Menurut
Kanneth D. Bailey istilah studi lapangan merupakan istilah yang sering
digunakan bersamaan dengan istilah studi etnografi (ethnographic study atau
ethnography).[1] Lawrence Neuman juga
menjelasakan bahwa penelitian lapangan juga sering disebut etnografi atau
panelitian participant observation.[2] Akan
tetapi, menurut Neuman etnografi hanyalah merupakan perluasan dari penelitian
lapangan. Etnografi mendefinisikan kembali bagaimana penelitian lapangan harus
dilakukan.[3] Menurut
Roice Singleton, penelitian lapangan berasal dari dua tradisi yang terkait
yakni antropologi dan sosiologi, dimana etnografi merupakan studi antropologi
dan etnomethodologi merupakan studi sosiologi.[4] Etnografi
memberikan jawaban atas pertanyaan apakah budaya suatu kelompok individu,
sedangkan etnomethodologi memberikan jawaban atas bagaimanakah orang memahami
kegiatan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat berprilaku dengan cara yang
diterima secara sosial.
Penelitian
lapangan merupakan penelitian kualitatif di mana peneliti mengamati dan
berpartisipasi secara langsung dalam penelitian skala sosial kecil dan
mengamati budaya setempat. Banyak mahasiswa senang dengan penelitian lapangan
karena terlibat langsung dalam pergaulan beberapa kelompok orang yang memiliki
daya tarik khas. Tidak ada matematika yang menakutkan atau statistik yang
rumit, tidak ada hipotesis deduktif yang abstrak. Sebaliknya, adanya interaksi
sosial atau tatap muka langsung dengan “orang-orang yang nyata” dalam suatu
lingkungan tertentu.
Dalam
penelitian lapangan, peneliti secara individu berbicara dan mengamati secara
langsung orang-orang yang sedang ditelitinya. Melalui interaksi selama beberapa
bulan atau tahun mempelajari tetang mereka, sejarah hidup mereka, kebiasaan
mereka, harapan, ketakutan, dan mimpi mereka. Peneliti bertemu dengan orang
atau komunitas baru, mengembangkan persahabatan, dan menemukan dunia sosial
baru, hal ini sering dianggap menyenangkan. Akan tetapi, penelitian lapangan
juga memakan waktu, menguras emosional, dan kadang-kadang secara fisik
berbahaya.
Kapan
sebaiknya kita menggunakan penelitian lapangan? Penelitian lapangan dilakukan
ketika pertanyaan penelitian mencakup belajar tentang, memahami, atau
menggambarkan interaksi sekelompok orang. Hal ini biasanya dilakukan jika
pertanyaannya adalah: Bagaimana orang Y di dunia sosial? atau Seperti apakah
dunia sosial dari X? Hal ini dapat digunakan ketika metode lain (misalnya,
survei, eksperimen) dianggap tidak praktis. Douglas menyatakan bahwa sebagian
dari apa yang peneliti sosial benar-benar ingin belajar, dapat dipelajari hanya
melalui keterlibatan langsung seorang peneliti di lapangan.
Secara
sederhana Metode pengamatan penelitian
lapangan (Field Research) dapat
didefinisikan yaitu secara langsung mengadakan pengamatan untuk memperoleh
informasi yang diperlukan dalam penyusunan laporan tugas akhir ini.
Misalnya
ketika peneliti ingin meneliti bagaimana peran opini leader dalam suku kajang hal ini menggunakan metode field
research guna mendapatkan hasil yang akurat dan pasti, dimana peneliti ikut
tinggal, bergaul dan melakukan kegiatan sosial lainnya demi mendapatkan
kesimpulan yang sesuai dari apa yang ada dilapangan.
Studi Kasus
Dapat dikatakan bahwa studi kasus bukan
merupakan metode ilmiah yang spesifik melainkan lebih merupakan suatu metode
yang lazim diterapkan untuk memberikan penekanan pada spesifikasi dari unit –
unit atau kasus – kasus yang diteliti. Dengan kata lain, metode ini
berorientasi pada sifat – sifat unik (casual) dari unit – unit yang sedang
diteliti berkenaan dengan permasalahan – permasalahan yang menjadi fokus
penelitian. Patton (2004: 447) meihat bahwa studi kasus merupakan upaya
mengumpulkan dan kemudian mengorganisasikan serta menganalisis data tentang
kasus – kasus tertentu berkenaan dengan permasalahan – permasalahan yang
menjadi perhatian peneliti untuk kemudian data tersebut dibandingkan atau
dihubung – hubungka satu dengan yang lainnya (dalam hal lebih dari satu kasus)
dengan tetap berpegang dalam perinsip holistik dan kontekstual. Disini yang
dapat diangkat menjadi kasus mungkin adalah individu, keluarga, kelompok
organisasi, institusi nilai atau corak budaya ataubahkan wilayah. Penerapan
studi kasus sebagaimana yang lazim adalah menggunakan metode standart seperti
observasi, interview, FGD atau penggabungan dari metode – metode itu.
Dalam konteks penelitian komunikasi,
studikasus memiliki karakter dinamis di dalam penggunaannya untuk memperoleh
gambaran mengenai berbagai persoalan menarik dalam kehidupan sosial. Dalam
kaitan ini, studi kasus memiliki semacam keistimewaan yakni bukan hanya studi
kasus dalam penelitian komunikasi dikembangkan sesuai dengan yang sudah sejak lama
digunakan dalam studi sosiologis dan antropologis melainkan studi kasus dalam
penelitian komunikasi juga digunakan untuk meneliti gejala – gejala humaniora.
Dalam hubungan ini studi kasus misalnya digunakan untuk melacak nilai – nilai
yang terkandung dalam berbagai bentuk naskah cerita seperti novel dan darama.
Lacakan terhadap teknik – teknik retorika yang dikembangkan oleh para elit
kekuasaan dan tokoh – tokoh masyarakat juga dapat dilakukan denga meggunakan
studi kasus ini misalnya mencermati penggunaan bahasa seperti metafor, ironi,
parado, anekdot, dan eufeminisme.
Contoh penelitian menggunakan metode
studi kasus ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Jankowsiki di Amsterdam
pertengahan dekade 1970-an yaitu analisis
kontekstual mengenai perkembangan stasiun televisi lokal adapun topik lain
yang dapat menggunakan metode ini yaitu prilaku
memilih dikalangan perempuan perkotaan dalam hal ini kita dapat
mengerucutkan dan memfokuskan pada satu kota tertentu, dalam hal ini peneliti
bisa mengedintifikasikan berbagai kasus yang telah ada.
Creswell memulai pemaparan studi kasus
dengan gambar tentang kedudukan studi kasus dalam lima tradisi penelitian
kualitatif yang dikemukakan Foci berikut ini bahwa diungkapkan bahwa fokus
sebuah biografi adalah kehidupan seorang individu, fokus fenomenologi adalah
memahami sebuah konsep atau fenomena, fokus suatu teori dasar adalah seseorang
yang mengembangkan sebuah teori, fokus etnografi adalah sebuah potret budaya
dari suatu kelompok budaya atau suatu individu, dan fokus studi kasus adalah
spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok
budaya ataupun suatu potret kehidupan. [5]
Lebih lanjut Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi
kasus yaitu : [6]
(1) mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi;
(2) Kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang
terikat” oleh waktu dan tempat;
(3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber
informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci
dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan
(4) Menggunakan pendekatan studi kasus, peneliti
akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks atau setting untuk suatu
kasus.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat diungkapkan bahwa studi kasus adalah sebuah eksplorasi
dari “suatu sistem yang terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus” yang dari
waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai
sumber informasi yang “kaya” dalam suatu konteks. Sistem terikat ini diikat
oleh waktu dan tempat sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu program,
peristiwa, aktivitas atau suatu individu. Dengan perkataan lain, studi kasus
merupakan penelitian dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus)
dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok
sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode tertentu.
Pengumpulan
data dalam studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi, karena
studi kasus melibatkan pengumpulan data yang “kaya” untuk membangun gambaran
yang mendalam dari suatu kasus. Yin mengungkapkan bahwa terdapat enam bentuk
pengumpulan data dalam studi kasus yaitu:
(1) dokumentasi yang terdiri dari surat, memorandum,
agenda, laporan-laporan suatu peristiwa, proposal, hasil penelitian, hasil
evaluasi, kliping, artikel;
(2) rekaman arsip yang terdiri dari rekaman layanan,
peta, data survei, daftar nama, rekaman-rekaman pribadi seperti buku harian,
kalender dsb;
(3) wawancara biasanya bertipe open-ended;
(4) observasi langsung;
(5) observasi partisipan dan
(6) perangkat fisik atau kultural yaitu peralatan
teknologi, alat atau instrumen, pekerjaan seni dll.[7]
Sedangkan
Creswell menampilkan pengumpulan data melalui matriks sumber informasi untuk
pembacanya. Matriks ini mengandung empat tipe data yaitu: wawancara, observasi, dokumen dan materi audio-visual
Jadi,
Studi kasus menjadi berguna apabila seseorang/peneliti ingin memahami suatu
permasalahan atau situasi tertentu dengan amat mendalam dan dimana orang dapat
mengidentifikasi kasus yang kaya dengan informasi , kaya dalam pengertian bahwa
suatu persoalan besar dapat dipelajari dari beberapa contoh fenomena dan
biasanya dalam bentuk pertanyaan. Studi kasus pada umumnya berupaya untuk
menggambarkan perbedaan individual atau variasi “unik” dari suatu permasalahan.
Suatu kasus dapat berupa orang, peristiwa, program, insiden kritis/unik atau
suatu komunitas dengan berupaya menggambarkan unit dengan mendalam, detail,
dalam konteks dan secara holistik. Untuk itu dapat dikatakan bahwa secara umum,
studi kasus lebih tepat digunakan untuk penelitian yang berkenaan dengan how
atau why.
Fenomenologi
Fenomenologi beranjak dari filsafat sebagaimana
dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl (1859 – 1938). Walaupun acap
kali tampak ada kesimpangsiuran dalam definisinya (sebagian paradigma, aliran
filsafat, bahkan sebagai metode atau penelitian kualitatif itu sendiri), pada
hakikatnya fenomenologi adalah upaya memnjawab pertanyaan bagaimanakah struktur dan hakikat pengalaman terhadap suatu gejala bagi
sekelompok manusia ? . [8]Husserl, misalnya
memandang fenomenologi sebagai pengkajian terhadap cara manusia memberukan
benda – benda dan hal – hal disekitar dan mengalami melalu indara – indranya.
Fenomenologi pada dasarnya adalah sebuah
tradisi yaitu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia. Menurut Little John (2006:37) bahwa fenomenologi adalah suatu
tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia.[9]
Dalam konteks ini diasumsikan bahwa manusia aktif memahami dunia
disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif
menginterpretasikan pengalamannya tersebut yang dapat disederhanakan bahwa
fenomenologi berasumsi bahwa setiap manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalaman dengan memberikan makna atas suatu yang dialaminya, dengan kata lain
pemahaman adalah suatu tindakan kreaif dan bersifat subjektif.
Satu hal lagi yang ditekankan dalam
fenomenologi adalah baha objek dan peritiwa tersebut dilihat dalam perspektif
manusia itu sendiri.Dan analisis atas kehidupan sehari – hari dilakukan dari
sudut pandang orang yang hidup dalam kehidupannya sendiri. Setiap makhluk hidup
pasti punya interpretasi berbeda atas kehidupannya masing – masing meski
sekalipun merka hidup dalam satu keluarga akan tetapi cara mereka
menginterpretasikan dunia disekeliling mereka berbeda. Misalnya dua orang
saudara kandung menyaksikan acara televisi yang membahas mengenai berita
tentang kenaikan harga bahan bakar minyak maka mereka menginterpretasikan
berbeda misalnya sang kaka menginterpretasikan bahwa pemberitaan itu hanya
pengalihan issue dari kekalahan Prabowo dan kegagalan Prabowo karena pada masa
sebelumnya sang kaka memiliki beberapa pengalaman dari berita kekalahan
prabowo. Sedangkan sang adik menginterpretasikan berita itu dengan kegagalan
pihak Jokowi yang tidak membela rakyat padahal sebelumnya kubu dari pemenang
pemilihan presiden ini terus menggembar – gembor kan kalau mereka adalah
pemerhati rakyat, lain dengan sang kaka bahwa pengalaman sang adik bahwa
sebelumnya ia sudah dikecewakan dengan kasus Jokowi yang lebih memilih untuk
maju sebagai calon Presiden ketimbang mempertahankan janjinya untuk mengawal
Jakarta selama limatahun hingga akhir periodenya. Kedua kaka beradik ini
memiliki pengalaman yang berbeda dan pastinya memberikan interpretasi yang
berbeda pula terhadap dunia sekelilingnya.
Metode fenomenologi ini terrmasuk
kedalam metode penelitian kualitatif yang cenderung bersifat deskriptif diaman
fenomenologi dapat memberikan peluang bagi peneliti untuk menggali informas
pengalaman manusia. Dibanding metode lain, salah satu metode yang menggunakan
paradigma konstruktifistik ini lebih memberikan fleksebilitas dan kemudakan
membangun konstruksi sosial realitas. Metode ini dapat memberikan informasi
yang kaya atas realitas yang diteliti, mungkin secara teoritik sulit dipahami
akan tetapi sebenarnya lebih mudah untuk dilakukan. Untuk cara pengumpulan data
nya dalam metode fenomenologi dapat dengan melakukan wawancara selain itu
diikuti dengan data sekunder yakni observasi.
Etnografi
Etnografi
adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial. peneliti
menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan cara
hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian. Sebagai
proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap suatu
kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam keseharian
hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota kelompok
tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku, bahasa,
dan interaksi dalam kelompok.
Metode ini cenderung meneliti suatu
kebudaayan di sebua wilayah tertentu, apa yang dilakukan masyarakat dan apa
tujuannya mereka melakukan hal tersebut. hal ini ditegaskan dalam pernyataan
bahwa secara historis, penelitian etnografi telah mengembangkan suatu perhatian
untuk memahami pandangan dunia dan cara hidup manusia dalam konteks pengalaman
hidup sehari – hari merka (Crang dan Cook, 2007:37).[10] Secara
harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang
ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work)
selama sekian bulan atau sekian tahun. Etnografi, baik sebagai laporan
penelitian maupun sebagai metode penelitian dianggap sebagai asal-usul ilmu
antropologi. Margareth Mead (1999) menegaskan, “Anthropology as a science is
entirely dependent upon field work records made by individuals within living
societies. Dalam buku “Metode Etnografi” ini, James Spardley mengungkap
perjalanan etnografi dari mula-mula sampai pada bentuk etnografi baru. Kemudian
dia sendiri juga memberikan langkah-langkah praktis untuk mengadakan penelitian
etnografi yang disebutnya sebagai etnografi baru ini.
Etnografi lekat dengan kebudayaan,
bahkan merupakan hal yang pokok dalam studi etnografis. Karena hal ini maka
kalangan antropolog yang telah merintis kemudian menggunakan istilah ini. hal
demikian didasarkan pada keyakinan bahwa manusia hidup berjelompok dan saling
berinteraksi anatara satu indivisu dan individu lainnya, dan melalui ini
kemudian terbentuk kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini dapat dimaknai
sebagai kumpulan dari pola – pola perilaku dan keyakinan – keyakinan yang
kemudian menentukan patokan (standart) mengenai sesuatu itu apa (what is),
kemungkinannya apa (what can be), memutuskan bagaimana menaruh perasaan
terhadapnya, keputususan bagaimana untuk merspons dan bagaimana cara yang
diambil atau dipilih,
Istilah etnografi kerapkali di gunakan
untuk menunjukkan dua hal yang sebenarnya berbeda yakni (a) Metode Penelitian
dan (b) hasil laporan penelitian atau kajian. Dalam arti metode istilah
etnograf biasanya diartikan sebagai fildwork
conducted by a single investigator who lives with and lives like whose who are
studies, usually for a year or more. Penelitian
lapangan, kata lain dari metode observasi – terlibat, yang dilakukan oleh
seorang peneliti yang untuk itu ia tinggal bersama dan hidup sebagaimana
layaknya orang – orang yang diteliti, untuk waktu satu tahun atau lebih).
(Maanen, 1996:263 -265).[11]
Dalam arti hasl penelitian, etnografi
berarti the written respresention of a
culture (suatu bentuk laporan tertulis mengenai suatu kebudayaan). Kendati
demikian, secara umum istilah etnografi biasa diapakai untuk menunjuk a study of the culture that a given group of
people more or less share (studi tentang kebudayaan yang ada pada kelompok
masyarakat tertentu). (Maenen, 1996 : 263 -265).Menurut Maanen , terdapat tiga
moment (tahap kegiatan yang berbeda) pada etnografi: (a)Kegiatan Pengumpulan
Informasi atau data mengenai suatu kebudayaan yang diteliti, (b) penyusunan
laporan etnogarfi dan (c) bacaan dan penerimaan (reading and reception) karya
etnografi oleh khalayak yang relevan dan beraneka ragam. Para ilmuan sosial
biasanya lebih tertarik pada yang pertama
Contoh menggunakan metode etnografi
adalah berkenaan dengan dampak televisi
terhadap nilai – nilai kehidupan orang lokal didaerah Nagro Aceh Darussalam.
Dalam hal ini lebih mengkaji dengan sisi bagaimana kebudayaan mereka menerima
dan menginterpretasikannya kedalam kebudayaan mereka.
Entografi pada dasarnya ancangan yang
berawal dari disiplin antropologi budaya dan pada pokknya bertujuan mengkaji
bagaimanakah budaya sekelompok manusia. Metode pengumpulan premier yang
digunakan ialah observasi partisipatif, yang menuntut kerja lapangan yang
intensif dengan peneliti terlibat penuh di dalam budaya yang dikajinya.[12]
Etnografi mementingkan asas relativisme (kenisbian) budaya : setiap kelompok
manusia akan mengembangkan budayanya dan budaya itu di hargai sebagaimana
adanyya tanpa membawa nilai – nilai dari budaya si peneliti. Ini juga berarti
penghargaan penuh (termasuk upaya empati) terhadap kelompok manusia yang hendak
di teliti.
Etnometodelogi
Etnometodelogi
yang bersumber dalam disiplin sosiologi mokro dan dipelopori oleh Harold
Garfinkel (1967).[13] Mengajukan
pertananyaan: bagaimanakah prang memahami kegiatan sehari – hari sehingga
perilakukunya dapat diterima oleh masyarakat nya? Berbeda dengan penyelidikan
hueristis yang memerhatikan pengalaman intens, entnometodelogi lebih memerhatikan
hal yang begitu lumrahnya dalam kehidupan sehari – hari sehingga tidak pernah
terpikirkan secara mendalam oleh para pelakunya. Berakar dalam fenomenologi,
etnometodelogi berusaha memahami akal sehat yang digunakan oleh sekelompok
manusia untuk dapat berfungsi dalam suatu lkelompok yang hendak mencapai suatu
tujuan tertentu.
Untuk membuktikan kompleks dan
“tidak lumrah”nya suatu gejala, etnometodologi menggunakan tenknik sengaja
melanggar pola keseharian yang berlaku dan dari reaksi terhadap pelanggaran itu
mencoba memahami kompleksitasnya. Dengan begitu metode pengumpulan datanya
dapat dengan Studi kasus setelah itu dibantu dengan data sekunder wawancara dan
observasi.
Adat Larung Sesaji. Sebenarnya tidak
ada hubungan yang erat antara upacara atau sesaji dengan berhentinya bencana.
Hal ini terlihat dari meski adanya rutinitas “nglarung” tetapi bencana alam
maupun sosial masih terjadi di mana-mana. Namun karena manusia memiliki
refleksi, masih adanya bencana-bencana tersebut direfleksikan berbeda, seperti,
mereka mengatakan pada dirinya sendiri bahwa, “Mungkin persembahan yang
diberikan kurang banyak dan tak tepat waktu, sehingga ritual tersebut tidak
diterima dengan baik oleh Yang Maha Kuasa”. Dari sini terlihat adanya proses
berpikir dan evaluasi diri dari sang Peritual tersebut. contoh lainnya, Gail
Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam
percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam
percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson
menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu ucapan dimaksudkan
untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh
pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan,
misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa
tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu
yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi
atas dasar suka rela atau oleh ajakan.
Interaksionisme Simbolis
Interaksionisme
simbolis bermula dari psikologi sosial yang dikaitkan dengan Gorge Herbert Mead
(1943) dan Herbert Blumer (1969) serta per definisi bertautan erat dengan
penyelidikan kualitatif dan orientasi verstehen
yang mendasarinya. Sang interaksionis simbolis mengajukan pertanyaan kumpulan simbol dan pemehaman umum apa yang
muncul dan memberikan makna pada interaksi antarmanusia?.[14]
Perspektif ini amat menekankan
pentingnya makna dan penafsiran sebagai proses yang hakiki manusiawi sebagai
reaksi terhadap behavioralisme dan psikologi stimulus – respon yang mekanistis.
Orang menciptakan makna bersama melalui interaksinya, dan bagi mereka makna
itulah yang menjadi realitasnya
Pentingnya interaksionisme simbolis
dalam penyelidikan kualitatif adalah tekanan jelas pada pentingnya simbol dan
proses yang terjadi dalam interaksi sebagai sesuatu yang mendasar untuk
memahami perilaku manusia.
Interaksionisme simbolik merupakan
salah satu model metodologi penelitian kualitatif berdasarkan pendekatan
fenomenologis atau persepektif interpretif. Bogdan dan Taylor mengemukakan
bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme
simbolik dan etnometodologi.[15]
Dalam pandangan interaksi simbolik,
sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang
menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi
simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol
yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan
sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini
terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut
interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk
dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui
bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori
behavioristik atau teori struktural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal
yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.[16]
Interaksi simbolik termasuk ke dalam salah satu dari
sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah dan bukan
lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik,
yaitu.[17]
1. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas.
2. Peneliti harus mengambil perspektif atau peran orang lain yng bertindak (the acting other) dan memandang dunia dari sudut
pandang subjek, namun dalam berbuat demikian peneliti harus membedakan antara
konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan konsepsi ilmiah mengenai
realitas tersebut.
3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek hubungan sosial dan
kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
4. Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat.
5. Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubaha, juga
bentuk perilaku yang yang statis.
6. Pelaksanan penelitian paling baik dipandang sebagai suatu tindakan
interaksi simbolik.
7. Penggunaaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan kemudian operasional, teori yang
layakmenjadi teori formal, bukan teori agung (grand theory) atau
teori menegah (middle-range theory), dan
proposisi yang dibangun menjadi interaksional dan universal.
Dari penjelasan diatas bahwa dapat disimpulkan interaksionisme simbolis
dapat menggunakan observasi sebagai data premiernya dan wawancara dapat
ditambahkan sebagai data sekundernya.
Hermeneutis
Heurists
adalah suatu penyelidikan fenomenologis yang mengedepankan pengalaman pribadi
dan penghayatan peneliti. Pendekatan ini berasal dari dan dipengaruhi oleh
disiplin psikologi humanistis. Penyelidikan heuristis mengajukan pertanyaan :
bagaimanakan pengalaman saya terhadap hejala ini dan pengalaman hakiki orang
lain yang juga secara intens?
Dibandingkan dengan kereangka
fenomenologi yang lebih luas, unsur – unsur penyelidikan heuristis lebih sempit
atai terfokus, yakni:[18]
a. Peneliti harus mempunyai pengalaman pribadi atau
langsung dan perhatian yang intens terhadap gejala yang dikaji
b. Para peneliti pendamping harus ikut merasakan
intensitas yang sama terhadap gejala tersebut
Heuristis
berhubungan dengan makna, bukan dengan ukuran ; dengan hakikat, bukan
penampilan ; dengan kualitas, bukan kuantitas ; dengan pengalaman bahkan
prilaku.
Ground Theory
Para
ahli ilmu sosial, khususnya sosiolog, berupaya menemukan teori berdasar data
empiris, bukan membangun teori secara deduktif logis. Itulah yang disebut
grounded theory, dan model penelitiannya disebut grounded research. Penemuan
teori dari data empirik yang diperoleh secara sistematis dalam penelitian
sosial, merupakan tema utama dari metodologi penelitian kualitatif model
grounded research. Grounded theory ditemukan pada tahun 1967 oleh Barney G.
Glaser dan Anselm L. Strauss dengan diterbitkannya buku berjudul The Discovery
of Grounded Theory.[19] Pelaksanaan
dalam grounded research bertolak belakang dengan penelitian kuantitatif pada
umumnya, yang bergerak dari level konseptual teoritik ke level empirikal. Grounded
research bergerak dari level empirikal menuju level konseptual teoritikal. Dalam
penelitian ini, peneliti langsung terjun ke lapangan tanpa membawa rancangan
konseptual, proposisi dan teori tertentu. Secara provokatif, sering dikatakan
agar peneliti masuk ke lapangan dengan “kepala kosong”, tanpa membawa apapun
yang sifatnya apriori, apakah itu konsep, proposisi, ataupun teori. Hal ini
disebabkan, dengan membawa konsep, proposisi, teori yang bersifat apriori,
dikhawatirkan terjebak pada kecenderungan studi verifikatif yang memaksakan
level empirikal menyesuaikan diri dengan level konseptual teoritikal.
Berdasarkan
keadaan “kepala kosong” inilah, diharapkan peneliti dapat sepenuhnya terpancing
kepada kenyataan berdasarkan data lapangan itu sendiri, baik dalam
mendeskripsikan apa yang terjadi, maupun menjelaskan kemengapaannya. Dengan
demikian, apa yang ditemukan berupa konsep, proposisi, dan teori, benar-benar
berdasarkan data yang dikembangkan secara induktif. Tekait proses tersebut,
terdapat tiga unsur dasar yang perlu dipahami dan tidak bisa saling dipisahkan,
yaitu konsep, kategori, dan proposisi.[20] Kualitas
grounded theory sangat ditentukan oleh langkah-langkah yang dilakukan secara
baik, benar, dan disiplin. Proses yang benar akan menjamin ditemukannya teori
yang benar pula. Dengan demikian, ada semacam koherensi antara input, proses,
dan output. Disamping itu, seperti pada penelitian lainnya, pengujianditentukan
oleh validitas, reliabilitas, dan kredibilitas dari data, juga ditentukan oleh
proses penelitian dimana teori dihasilkan, serta data empirisnya sebagai bagian
integral dari penemuan atau teori yang dihasilkan.
Jadi
data dari grounded research dapat di kumpulkan melalui observasi serta
wawancara bersamaan dengan itu analisis dan interpretasi menurut prosedur
tertentu mestilah telah diupayakan, tak ayal lagi data yang diperoleh alah data
atau informasi hasil analisis (lewat berbagai proses encoding dan penulisan
dalam wujud memos). Pada tahap berikutnya masih dianalisis lagi (lewat proses
coding) untuk tersusun menjadi suatu deskripsi yang dapat di sajikan sebagai
suatu laporan penelitian.
Dramaturgi
Manusia mampu menjalankan berbagai peran sesuai dengan situasi dan
kondisi yang berbeda. Menurut George Ritzer, manusia adalah aktor yang kreatif
dari realitas sosialnya .[21]
Erving Goffman
memperkenalkan teori dramaturgi yang melihat kehidupan sosial sebagai
serangkaian pertunjukan drama yang serupa dengan apa yang ditampilkan diatas
panggung. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia tidaklah stabil,
berubah-ubah tergantung dengan siapa individu berinteraksi. Goffman berasumsi
bahwa ketika individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan pemahaman tertentu
tentang diri yang akan diterima oleh orang lain.[22]
Setiap individu sebagai aktor berusaha melakukan peran dalam “pertunjukkan
dramanya” sebaik mngkin dengan tujuan orang lain melihat karakteristik
personalnya sesuai dengan apa yang diperankan. Untuk mencapai tujuannya ini,
actor perlu menggunakan teknik “manajemen kesan” atau impression management agar penonton yakin dengan apa yang
diperankan dan tidak mengetahui karakter asli dari aktor. Dengan impression
management, aktor mampu mengendalikan ekspresi muka dan suara serta
skenario yang perankan.
Dalam konsep dramaturgi terdapat dua jenis panggung yaitu,
panggung depan (front stage) dan
panggung belakang (back stage). Panggung depan (front stage) adalah bagian
pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front
stage dibagi dua, setting pemandangan fisik yang harus ada jika aktor ingin
memainkannya dan front personal
berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari aktor. Front personal terbagi dua, yaitu
penampilan berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor (appereance), dan gaya mengenalkan peran
macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu (manner)atau dalam bahasa lain di front stage inilah aktor melakukan pencitraan dirinya sebaik
mungkin. Panggung belakang (Back stage) merupakan ruang dimana berjalan
skenario pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan
masing-masing aktor) atau dalam bahasa lain di back stage inilah
karakter aktor yang asli ditunjukan.[23] Individu
bebas berperilaku sesuai dengan karakter asli tanpa harus
mengkhawatirkan ada yang memperhatikannya.
Tujuan
dari orang melakukan dramaturgi menurut Goffman adalah penerimaan penonton akan
manipulasi. Ketika aktor berhasil menjalankan perannya maka penonton akan
melihat aktor sesuai dengan apa yang memamg diperrtunjukkan oleh aktor
tersebut. Aktor akan semakin mudah membawa penonton untuk mencapai tujuan dari
pertunjukkan yang dilakukan.
[1] Kanneth
D. Bailey, Methods of Social Research, (New York: A Division of Macmillan
Publishing Co. Inc, 1982), hlm. 254
[2] W.
Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative
Approaches), Ed. 5th., (Boston: Allyn
and Bacon, 2003), hlm. 363.
[3] Ibid.,
hlm. 366, Neuman menjelaskan terdapat dua extensions dari penelitian lapangan
yakni ethnography dan etnomethodologi.
[4] Roice
Singleton ed.all, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University
Press, 1988), hlm. 308,
[5] John
W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Tradition. (London: SAGE Publications, 1998), hlm. 37-38
[7] Robert
K. Yin, Case Study Research Design and
Methods.(Washington : COSMOS Corporation, 1989).hlm103
[8] Tim
Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta:
Prenada Media Group,2007).hlm 178
[9]
Adnan.Hussein.Mix Methodology Dalam
Penelitian Komunikasi.(Yogyakarta;ASPIKOM).hlm135
[12] Tim Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta:
Prenada Media Group,2007).hlm 178
[14] Ibid.hlm180
[15] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Yogyakarrta : Rake Sarasin,1996),136
[16] Noeng Muhadjir,
Metodologi penelitiankualitatif pendekatan positivistic, rasionalistic,
phenomenologic,dan metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama, (Bandung
: PT . Bayu Indra Grafindo,1996)hal 135.
[17] Mulyana. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma
Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: Remaja
Rosdakarya.2002)hlm 149.
[18] Tim Penyusun. Metode Penelitian Sosial.(Jakarta: Prenada
Media Group,2007).hlm 178
[19] Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian
Kualitatif Edisi IV, Yogyakarta:
Rake Sarasin, hlm. 120
[20] Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif
Edisi Revisi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm.72.
[21] Mudji Sutrisno
dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal:
187
[22] George Ritzer dan Douglas
J.Goodman. Teori Sosiologi Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muktahir Teori Sosial Postmodern. Penerjemah
Nurhadi (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2008) hlm. 617.
[23] Slide
PowerPoint Teori Sosiologi Modern Jurusan Sosiologi FIS UNJ: Interaksionisme Simbolik
[25] Parwito.Penelitian Komunikasi Kualitatif.(Yogyakarta:
LkiS.2008).hlm132